Hari mulai mendung, siang menjadi sedikit gelap. Dingin semakin menetap. Kota Bireuen semakin gagap. Aku sedang duduk di sebuah bengkel motor, menunggu pak montir menampal ban keretaku. Sial sekali hari ini, padahal aku sedang menuju ke sebuah tempat. Tempat dimana aku termenung bila galau datang, tempat dimana aku tertawa bila rasa bosan bertamu, dan banyak lagi khasiat-khasiat lainnya dari tempat itu. Malah aku menyebut tempat itu dengan sebutan: Gubuk Hinggap. Ah, tak penting.
Yang terpenting bagiku, di tahun baru nanti aku harus mendapatkan sesuatu yang lebih berharga dari tahun sebelumnya. Tapi, tahun baru akan diawali nanti malam. Tepat jam 00.01 WIB, lembaran 2010 akan finish. Ironis sekali.
Sesaat aku sedang menunggu pak montir menampal ban, hanphone ku berbunyi. Ku ambil tas kecilku, ku angkat telepon itu. Dan ternyata, temanku Ihsan menelepon.
“Rul, entar malam kita mendaki. Mau ikut kan?”. Ihsan sebagai salah satu anggota Mapala di kampusku, mengajakku mendaki. Tanpa basa basi.
“Kemana?” Tanyaku bingung.
“Gak jauh kok, puncak Panteun Geulima Peusangan.”
“Wah, cuacanya mendung nih! Gimana ya?”. Spontan, balasku kebingungan.
Aku agak terkejut, dengan tiba-tiba sahabatku Ihsan mengajakku tanpa perencanaan lebih awal. Padahal aku masih merasa takut untuk mendaki lagi, sebab tulang pahaku patah akibat kecelakaan lalu lintas setahun yang lalu. Walaupun sekarang ini aku sudah bisa berjalan normal seperti biasa. Namun pada dasarnya, aku juga harus tetap menjaga masa-masa perawatan tulang pahaku pasca kecelekaan tersebut.
“Aduh, bingung aku nih…”. Gumamku dalam hati
Mungkin aku harus membalas pertanyaan Ihsan dengan amat sangat berhati-hati dan penuh pemikiran yang sehat dan matang.
“Jadi, gimana rul? Ikut gak?” Ihsan menanyakan lagi.
Dengan penuh semangat, dan didorong dengan rasa percaya diri. Dengan sigap dan mantap kujawab. “Oke, aku ikut!”.
–@–
Langit semakin mendung. Aku menemui Ihsan dan kawan-kawan di sekretariat Mapala bernama Alaska. Kulihat jam tanganku, waktu menunjukkan pukul 18:00 WIB. Ihsan dan kawan-kawan lainnya sedang berkemas menyiapkan peralatan untuk kamping nanti malam di puncak Panteun Geulima. Sebenarnya Panteun Geulima ini adalah kawasan bukit di seberang desa kecil, yang dekat dengan letak posisi kampus kami, Unimus. Tapi bukit ini mempunyai jalur yang rumit juga dalam urusan mendaki.
Kita harus melewati sebuah kampung kecil lebih dulu, yang persis berada di kaki bukit. Dan sesudah melewati beberapa rumah penduduk, kita harus memasuki areal hutan dan kebun-kebun penduduk setempat. Dan barulah kita mendapatkan jalur pendakian yang harus ditempuh kurang lebih satu jam perjalanan untuk mencapai puncak yang hanya berketinggian 452M DPL.
Nah, maka ketika kita berada dalam perjalanan. Yang paling menantang ialah, ketika berada di dalam hutan tersebut dan berjalan kaki melewati jalan setapak yang sempit, juga diapit oleh pohon-pohon besar berhimpit-himpit, kita akan menjumpai sebuah gubuk tua yang menakutkan. Sunyi, sepi! Janggkrik-jangkrik menangis menggelitik bulu roma. Hitam, pekat! Hanya lampu senter saja yang menerangi jalan setapak itu.
Konon, dari cerita penduduk setempat. Jika melewati areal hutan kecil itu di malam hari, kita harus berhati-hati sekali. Karena menurut penduduk setempat, di dekat sebuah gubuk kecil tua yang tak berpenghuni itu. Biasanya orang-orang yang melewati gubuk angker itu, akan bertemu dengan seseorang beramput panjang, dan mukanya buruk sebelah, dan juga memegang sebilah parang di tangannya. Mengerikan!
Setelah shalat magrib, kami langsung saja bersiap-siap untuk meneruskan perjalanan. Kami berenam berdiri dengan formasi melingkar. Bele, Ihsan, Yadi, Ezmar, dan Adhie saling merangkul bahu. Seperti biasa, doa pun dimulai.
–@–
Kami berjalan melewati rawa-rawa, dan berjumpa dengan penduduk desa yang sedang asyik ngopi sambil ngerumpi di warung kopi. Anak-anak kecil yang sedang mengaji di sebuah balai kecil terlihat mungil nan merdu-merdu suaranya.
“Alif…Ba…Ta…Tsa…Jim…Ha…Kha….?” Suara-suara mereka seakan bergerak, melayang, terbang setinggi-tingginya, menjadi lampu, penerang jalan kami dimalam ini. Luar biasa indahnya.
Tiba-tiba suara-suara mungil tadi hilang dengan perlahan, padam! Ah, rupanya sang hujan lebat telah datang. Mengguyur tubuh kami. basah seketika.
“Hei, kita sudah berada dalam hutan! Mari kita berteduh sebentar…!”. Bele yang membidangi keahliannya sebagai navigator, berteriak sambil menuju ke sebuah pohon besar.
Dan kami pun mengikuti perintahnya. Dalam gelap, dalam senyap. Rasa takut pun datang. Aku, Ezmar dan Adhie bukanlah anggota mapala. Berarti kami tidak mempunyai pengalaman penuh jika berada di hutan yang gelap pekat seperti ini. Sedangkan Bele, Ihsan dan Yadi sudah berpengalaman, dan bermental keras jika sedang berada dalam hutan dan pegunungan tentunya.
Ezmar yang mendadak kedinginan, bertanya pada Bele.
“Le, masih jauh tidak nih?”. Sepertinya ezmar merasa ciut dengan kondisi yang menegangkan seperti ini.
“Ya, masih jauh Mar! Dibalik gubuk tua itu, kita sudah bisa mendaki.”. Bele menjelaskan sambil menurunkan keril dari bahunya.
Aku malah kedinginan. Tubuhku dingin sekali. Baju dan celana yang kukenakan, basah kuyup. Yadi yang cool, menghidupkan api kecil di tangannya, dan membakar ujung sebatang rokok. Santai sekali kawan itu!.
Kulihat arlojiku, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan kurang sedikit, 20.45 WIB. Kami sudah berteduh di bawah pohon besar itu selama tigapuluh menit lamanya. Sang hujan pun tak kompromi. Sepertinya hujan tak mau berhenti malam ini. Terpaksa, mau tak mau kami harus melanjutkan perjalanan dibawah miliaran hujan yang sedang membasahi jalan setapak ini.
Sesampai di dekat sebuah gubuk tua, kami tak melihat kiri kanan. Kami hanya berjalan dengan kepala sedikit menunduk. Aku dan Ezmar tetap menunduk, hanya jalan setapak licin yang ada pada pandangan mata. Tak berkutik, tak berisik. Sesekali ku berbalik dan melihat Adhie dan Yadi yang berjalan dengan santai dibelakangku. Rokok ditangan Yadi, masih saja menyala. Sesekali dihirupnya rokok bergaris lingkar kuning itu dengan santai. Seakan bagi mereka tidak terjadi apa-apa.
Langkah kami sudah mendekati gubuk tua mengerikan itu. Bentuknya aneh. Sunyi, sepi sekali. Ketika kami sedang berada tepat di depan gubuk tersebut. Yadi malah ketawa sendiri. Di ikuti oleh Adhie juga. Entah kenapa mereka ketawa dengan tiba-tiba. Mental mereka berdua memang mantap. Tapi kenapa mereka seperti orang begok. Kondisi lagi tegang begini, kok malah ketawa ketiwi. Aneh!
“Kawan, lihatlah? Siapa yang duduk membelakangi kita di bawah pohon itu!”. Yadi menunjuk kearah gubuk breksek tua itu.
“Mana…! Oh ya, itu seperti seorang perempuan?” Adhie menyambung lagi.
Tak kusangka, apa yang dikatakan penduduk itu benar. Tak berani ku tatap kearah gubuk tua itu. Ezmar menarik-narik tanganku. Dia mengajakku berlari. Sedangkan Bele dan Ihsan sudah duluan kencang lari terbirit-birit. Aku yang belum bisa berlari kencang karena pasca patah tulang paha, Ezmar menggendongku di punggungnya, dan lari terpingkal pingkul dengan serial wajah yang amat sangat ketakutan. Aku meneropong jalan dengan head lamp kecil di jidatku. Dan teman setiaku Ezmar, berusaha berlari dengan gagah perkasa. Walaupun beban yang di ringkuhnya seberat 70 Kg.
Yadi dan Adhie, masih saja tertawa seperti orang tak waras. Mereka hanya berjalan dengan santai. Sambil tertawa tekikak-kikik, Yadi berteriak.
“Woi…Dasar penakut! Disini tak ada apa-apa…!”.
Rupanya Yadi membohongi kami. Mereka berdua telah merencakan suatu drama mini yang tak berbobot sama sekali. Tapi walaupun mereka berdua membohongi kami, tetap saja kami lari tunggang langgang tak menggubris ketololan mereka.
Disaat-saat kami sedang menyelamatkan jiwa penakut kami masing-masing, Bele dan Ihsan sudah menungggu kami di kaki bukit. Dan mengajak mendaki dengan hati-hati dengan raga yang sedang kewalahan.
Tak lama kemudian, kami mendengar suara memanggil-manggil minta tolong.
“Tolooong….?”
Suara itu datang dari arah gubuk. Suara itu terus menerus meminta tolong. Semakin lama, semakin besar suara itu. Semakin mendekat. Dekat sekali! Oh, ternyata suara kawan kami Adhie.
“Mana Yadi?”. Tanya Ihsan.
Dengan suara terbata-bata, adhie menghelakan nafas sepanjang mungkin. “Hhhh…Yadi dibelakangku!”. Sahut Adhie.
“Kenapa minta tolong? Kalian sudah kerjain kami kan!”. Hardik Bele yang sedang kesal atas ulah mereka berdua.
“Aku melihat seseorang berambut panjang di belakang yadi! Mengikuti yadi! Sedangkan yadi tidak melihatnya!”. Sambung adhie berwajah pucat pasi.
Maka kami pun menertawakan sobat nakal kami ini. Dan tertawalah kami di balik kebun pisang itu. Tak lama kemudian, yadi pun mendatangi kami dengan helaan nafas tersendat sendat. Tak karuan, ia menyesalinya.
–@–
Puncak telah kami daki. Hutan juga kami lalui, dan gubuk tua pun kami caci. Tapi sang hujan masih belum mau berhenti. Mengapa kesialan ini harus terjadi di permulaan tahun baru. Kami semua pura-pura tak mengerti.
Tenda kami dirikan dengan cepat. Aku hampir pitam, karena baru kali ini aku mendaki lagi. Kami cepat-cepat menyiapkan perkemahan. Seperti kawanan Marcopolo yang berjuang ditengah-tengah lautan, dihempas badai, dan semangat jiwa besar mereka yang gagah nan berani tak kuncup sedikit pun. Kami juga seperti itu, gagah berani walaupun hanya sebesar ujung lidi.
Diatas puncak, angin menghempas-hempaskan tenda kami. mengamuk seamuk mungkin. Hujan tak mengenal kami, tak bersahabat! Tapi lama kelamaan, angin pun berhenti bernyanyi. Hujan pun berhenti menari. Kami yang sedang berada di dalam kemah, menyibak tirai kamp dan melihat keluar.
“Wow… indah sekali. Lihatlah kawan?” Ezmar mengakatakan itu, sambil berdiri keluar tenda.
“Waahh… Kota kita! Matangglumpang Dua, indah sekali bila dilihat dari puncak bukit ini?” Kata adhie.
Aku yang sedang menggigil, cepat-cepat keluar. Kulihat, di ujung sana. Di balik jutaan ilalang bola. Terlihat sebuah kota. Kecil, mungil! Dihiasi lampu-lampu berbintak-bintik redup. Indah sekali. Seakan ribuan kunang-kunang beterbangan membentuk berbagai miniatur bangunan yang menarik perhatian mata kami. sebuah kota cantik. Terpajang dihadapan kami.
Namun kami saling membantu, menyiapkan makan malam. Ayam panggang, soap mie ala Yadi, kopi hangat, mungkin sudah cukup mengawali menu makan malam kami di puncak ini. Serasa damai jiwa ini. Seakan tak terbeban oleh ribuan pikiran dan masalah pribadi masing-masing dibawah sana. Semuanya lenyap. Dan hanya kenyamanan yang datang berada dekat kami, dalam pelukan alam dimalam ini.
Langit tak berbintang. Malam ini sungguh menantang. Aku dan adhie sahabat setia tapi nakal, membuka wacana baru. Yaitu main catur sampai ngaur.
–@–
Burung-burung menyanyikan nyanyian merdu di bawah sang fajar yang telah lewati malam. Mentari dating, penat kami hilang. Aku, Ezmar dan Bele keluar dari tenda, dan menghirup udara segar menyapa. Ah, indah sekali tempat ini kawan.
Kopi hangat kami hidangkan buat Yadi, Ihsan dan Adhie. Kami juga mengawali pagi ini dengan secangkir kopi campur sedikit susu. Dan roti seadanya. Dipagi yang cerah ini, hasrat batin ini ingin memulis sebuah puisi. Dan kuambilkan hanphone rongsokanku. Dan ku tulis:
Panteun Geulima
Kau menggeretak kami semalam
Bibir kami pucat pasi kau buat
Tapi jiwa dan raga kami tetap tegar
Menemanimu sampai fajar.
Panteun Geulima
Terima kasih! Kami ucap pada ilalangmu
Kami tancap pada tubuhmu
Kau tunjukkan kebesaran-Nya
Indahnya kota, terpancar lewat puncakmu
Terima kasih sekali lagi
Kami dendangkan di bahumu…
–@@@–
Aroelika Munar
Shorinji Kempo Unimus, 05 Januari 2011.