MUSIM SEMI, tahun 1998. Hembusan angin di subuh hari,
menampar-nampar wajah dua anak lelaki pinggiran pantai. Angin laut
menggoncangkan dedaun keutapang1.
Ilalang pantai bergoyang tak karuan – bernyanyi mendendangkan indahnya para
gemintang yang akan segera padam. Dua anak lelaki itu adalah aku dan Bardan. Setiap
pagi setelah shalat subuh, kami dan beberapa anak-anak pedalaman pesisir utara
Aceh, mencari uang dari hasil kerja sebagai penarik pukat2 di bibir pantai Kuala Radja. Begitulah hidup
kami, anak-anak pesisir utara.
Kehidupan anak-anak pesisir, adalah
kehidupan yang bergantung hanya pada satu profesi; yakni profesi keramat. Profesi yang
tak pernah berubah, dan takkan bisa di ubah. Tak lain hanyalah menjadi anak-anak
dari keturunan orang-orang terdahulu yang sentiasa setia menjadi pelaut seumur
hidup. Dengan kata lain, kami orang-orang pesisir, hanya akan menjadi pengarung
selat malaka dan samudera hindie sepanjang hidup. Itulah kami yang hidup dari
garis keturunan para pelaut dari masa ke masa. Maka dari itu, kusebut bahwa itu
adalah profesi kami sekampung, yakni profesi keramat. Dan profesi keramat itu
akan hanya menjadi pekerjaan turun-temurun warga desa Kuala Radja, desa kami,
desaku juga desa Bardan.
Di pantai inilah ribuan perkara terjadi
dengan semena-mena. Ada perkara yang tak bisa di tebak, seperti anak sulung Wak
Uma pengusaha tambak udang, yakni si cantik jelita bernama Ti Jah, jatuh cinta
kepada Basyrah anak orang termiskin di desa kami. Maksud dari perkaranya
adalah, hampir setiap hari, usai shalat shubuh, si cantik itu mengikuti Basyrah
menarik pukat. Aku pun heran, bahkan satu kampung pun heran pada dua anak
manusia itu!
Entah mengapa si cantik jelita
anak Wak Uma yang hidupnya kaya raya, kesandung cinta pada Basyrah, si miskin
berkulit hitam nan legam, berambut sedikit bergelombang, persis sama parasnya
macam Budi Handuk bintang komedian Jakarta. Tapi bagi Ti Jah, seakan-akan Basyrah
itu ialah bak seorang pangeran dari negeri seberang, yang tampan, gagah nan
perkasa. Hingga Ti Jah selalu dimabuk kepayang tak kepalang.
“Aduuuuuh maaaak!!! dunia memang
gila!” teriakanku di hati asal berkali-kali kudapatkan Ti Jah, membawa
sebungkus nasi yang di dalam bungkus itu selalu ada telor dadar. Untuk siapa
lagi kalau bukan untuk Basyrah. Memang hebat cinta itu, kawan!
Aku sendiri tak mengerti, entah
dari mana asal muasalnya cinta. Sehingga cinta itu mampu membutakan mata
seorang putri nan cantik jelita, mencintai lelaki yang amat sulit sekali di
modifikasi menjadi pemuda seganteng Nicola Saputra.
Nah, ada lagi perkara-perkara yang
heboh lainnya. Salah satunya adalah ada dua anak manusia yang berasal dari
keluarga miskin, bermimpi menjadi orang hebat, dan ingin kuliah ke ibu kota,
bahkan bila perlu, kuliah sampai ke Eropa. Sedangkan bila di lihat dari
kacamata keluarganya sendiri, sangat-sangat tidak mampu membiayai sekolahnya
sampai ke perguruan tinggi. Untuk sekolah di SMA saja sudah tak menentu,
apalagi sampai kuliah!
Hebat benar mimpi kedua anak
pesisir itu. Tak kusangka mimpinya setinggi langit, padahal dari neneknya
sendiri tak pernah bermimpi ingin jadi orang hebat. Apalagi kuliah sampai ke
Eropa, rasa-rasanya makan tiga kali sehari saja sudah cukup mapan bagi
orang-orang kumuh pedalaman seperti mereka.
Kawan, biar kalian tahu, kedua
anak yang kusebutkan itu adalah, tiada lain tiada bukan, dialah Bardan dan
diriku sendiri bernama Zaki.
Begitulah mimpi kami, kawan. Mimpi
dua anak pesisir. Bermimpi menjadi orang yang cerdas, berguna bagi kampung
Kuala, dan juga bermanfaat bagi orang-orang di nusantara.
***
Di pinggiran pantai ini, setiap
saat sebelum menarik pukat, tabiatku dan Bardan hanya memandang langit dan
bintang kejora. Hingga menunggu camar mendendangkan lagu-lagu cinta di bawah
mentari.
Duh, alangkah sejuknya jiwa ini,
kawan. Tahukah kalian, kami sering melihat dan merasakan betapa nikmatnya dunia
pantai. Setiap pagi buta, disini, di pantai ini aku selalu merasakan indahnya lanskap ungu yang
terbentang, lanskap yang sunyi tapi mendamaikan hati. Dan yang ada hanyalah
gemuruh ombak-ombak kecil yang gaduh membelai pepasir putih nan lembut.
Aku dan Bardan telah lama menjadi
sepasang sahabat. Pekerjaan kami, hanya membantu para nelayan menarik pukat.
Dan pada suatu saat, ketika aku dan Bardan beranjak remaja, terlukislah satu
cerita untuk kami dalam Laumahfudz3.
Subuh itu, deburan ombak
mendendangkan nyanyian fajar yang begitu mempesona di hadapan kami. Aku, menepuk-nepuk
bahu Bardan, sambil berkata.
“Dan, sebentar lagi kita akan
tamat sekolah! Apa kau ingin menjadi nelayan terus…!”
“Zaki sahabatku…! nyindir saja
kerjaan kau…!” Bardan membalasnya dengan tawa.
Tertawalah kami sesambil mengawal
mentari yang akan segera terbit di ufuk timur. Dan Bardan pun berkata.
“Aku di kampung saja, Ki! Nelayanlah,
pekerjaan orang-orang pesisir seperti kita..!!”
“Apa! Apa aku tidak salah dengar,
Dan?” kataku dengan wajah bingung. Dan aku menyambung.
“Dulu, kau sendiri kan yang
mengajakku bermimpi belajar setinggi-tingginya. Kau yang mengajakku kuliah ke
ibu kota, bahkan bila perlu kita kuliah sampai ke Eropa kan, Dan? Tapi, kenapa
sekarang kau tidak mau kuliah lagi! Kita sudah berjuang jadi kuli penarik
pukat, hanya untuk mengumpulkan uang kuliah kita…!? Tapi sekarang, tiba-tiba
kau sendiri yang berubah!” suaraku lantang membelah langit jingga. Mataku
merasa berbinar-binar.
“Maaf Ki, aku belum bisa kuliah,
Ki. Uangku belum mencukupi untuk biaya kuliahku di kota. Sepertinya… aku harus
menetap di kampung saja untuk sementara waktu. Kalau sudah punya uang banyak,
nanti aku ikut kau ke kota!” Bardan menyahut dengan sopan, tapi wajahnya seperti
orang-orang pesisir, wajah penuh kepasrahan.
Aku membatin, sepertinya Bardan
sahabatku satu-satunya itu sedang mengalami suatu masalah. Aku pun sangat
menghargai kemauannya menjadi nelayan saja.
“Bardan, aku mengerti!” suara
batinku mengeram dalam jiwa ragaku saja.
Kami pun berlari ke bibir pantai, bergabung
dengan sekelompok orang-orang udik yang sedang menarik pukat. Sambil menarik jala, aku berkata dengan
sedikit berteriak di telinga Bardan. Dan angin pun berhembus begitu kencang.
“Bardan, aku mau ke kota….!! Aku
tetap mau kuliah. Ayahku pun menyuruhku kuliah di kota, Dan!”
Pagi
pun seakan terasa hening, tapi ada salah satu di antara kami, tertawa, sambil
berkata: “Hei… anak muda! Kuliahlah kalian, jangan sampai kalian jadi anak pantai
terus sepanjang hidupmu…! Jadilah orang yang bermanfaat bagi bangsa dan
negaramu juga…!”
Suara yang tak asing lagi bagi
kami. Aku pun menoleh kebelakang. Ah, ternyata, tak lain tak bukan, itu suara
Pang Laot, tetua kami para nelayan di desa Kuala Radja.
“Dan, kau dengar apa kata Pang
Laot?” sedikit berbisik pada Bardan.
“Iya, aku dengar! Terserah kau
sajalah. Aku tetap ingin tinggal di kampung saja…”
Maka terbitlah sang mentari dengan
seberkas cahaya menyinari pantai Kuala. Langit menjadi terang. Para nelayan
akan segera pulang. Aku dan Bardan tetaplah sepasang sahabat dari kecil sampai
sekarang.
***
Hari demi hari, berganti tak permisi. Detik demi detik,
tak pernah kompromi. Dan sang waktu tetaplah berputar seiring putaran bumi.
Tapi sore ini, adalah sore yang
begitu menyedihkan. Senja telah tiba, dan langit pun berselimut jingga. Di
dekat muara pantai Kuala, duduklah aku dan sahabatku Bardan, menatap logam
orange yang akan segera tenggelam. Kami merenung di bawah langit jingga, tepat di
bawah sekumpulan pandanus tectorius4,
kami berdua saling berkeluh kesah tentang apa yang akan terjadi sekarang dan di
masa yang akan datang.
Bardan berdiri, menoleh ke kiri,
menatapku dengan lembut. Sesekali ia menggesek-gesekkan tapak kakinya pada
pasir putih itu.
“Zaki
sahabatku, mungkin kita akan berpisah...” Bardan berkata dengan lembut dan
penuh tanda tanya.
Deburan
ombak memecahkan keheningan antara kedua insan kelahiran Kuala.
“Tidak,
Dan. Kita takkan berpisah!” aku membatin.
Aku
menengadah. Kutatap wajah Bardan dalam-dalam. Terlihat bola mata Bardan
berbinar-binar menyilaukan. Ada sesuatu yang bening di mata Bardan, yang akan
segera membasahi pipinya yang hitam dan kusam. Aku pun tak tega melihat Bardan
menjadi sesak, menahan ombak di dadanya, seakan-akan sesuatu yang tajam
menyiksa batinnya yang dalam.
Aku dan Bardan merupakan dua anak
manusia yang telah lama menjalin persahabatan. Maka aku, sungguh tak mampu
melihat Bardan menjadi sesak, apalagi sesenggukan menahan tangis yang menyiksa
diri.
Bagiku, Bardan adalah sosok pemuda
yang setia. Semenjak kecil Bardan hidup sebatang kara. Ayah ibunya telah lama
meninggal sewaktu Bardan masih kecil. Namun Bardan tetaplah pemuda tangguh
sejagat raya. Bardan membiayai sekolahnya sendiri hanya dengan upah kerja yang
diperoleh dari Pang Laot, sebagai kuli penarik pukat di subuh hari.
Semangat hidup yang tertanam dalam
diri Bardan sangatlah luar biasa. Dan ia di asuh oleh Teungku Raja, yakni imam
masjid desa Kuala. Saban hari, setelah pulang sekolah, Bardan mengajari
anak-anak TPA mengaji di Masjid. Begitulah hidup Bardan, pemuda tangguh tiada
tandingan.
Dan aku, adalah satu-satunya
sahabat yang mengerti tentang kehidupan Bardan. Banyak cerita suka maupun duka kami
lewati bersama di tanah Kuala.
Maka di bawah jingga yang
terbentang. Aku berkata pada Bardan.
“Bardan sahabatku, aku takkan lama
meninggalkan kampung ini. Aku akan pulang setelah aku sarjana nanti. Kita pasti
akan bertemu lagi…”
Bardan menangis sesenggukan. Aku
tak tega melihat pipinya basah dengan air mata sepi. Dan ia hanya menatap
bohlam orange dengan wajah yang menyiksa diri.
“Entah mengapa, aku seperti
merasakan kehilangan yang mendalam, Ki!” Bardan terbata-bata.
“Jangan bersedih, kawan! Jangan
bersedih. Tenangkan hatimu, Bardan!”
Azan pun berkumandang dari masjid
dan meunasah5. Ombak-ombak
menjadi tenang. Ufuk barat menjadi merah. Tanda maghrib telah tiba. Dari muara,
ada cinta yang terbenam. Dari muara ada rasa yang terkekang. Bahkan dari muara,
ada cita dan harapan.
Aku menarik lengan Bardan.
“Ayo! Cepatlah kita ke masjid.
Teungku Raja pasti marah-marah bila kita tak berjama’ah.”
***
Hidup di kampung memang tak sama
seperti hidup di kota. Kota itu adalah ribuan nestapa. Di kota, ada banyak
peristiwa yang terjadi di dalamnya, seperti buih di lautan senja. Ada banyak
orang yang keracunan cinta, tapi tak pernah ada penawarnya. Ada juga orang-orang
dari pinggiran, datang ke kota hanya dengan maksud dan tujuan memperoleh
kejayaan semata. Bahkan ada pula kehinaan, bercampur kedukaan, di balut
kehampaan, maka pada akhirnya datanglah kesenangan. Maka itulah di sebut kota.
Kini
aku tinggal di kostan pinggiran kota, merantau untuk meraih cita-cita. Sudah 6
tahun lamanya aku mengadu nasib di ibu kota Serambi Mekkah. Dan kini aku telah memperoleh
gelar sarjana di bidang teknik industri. Tapi aku belum punya pekerjaan tetap
sebagaimana mestinya seorang sarjana. Persis sama dengan lagunya Iwan Fals,
Sarjana Muda. Setiap kali kumendengar lagu itu dari radio rongsokanku, aku hanya
bisa membayangkan tentang nasibku sendiri menjadi sarjana muda tengik dari
kesekian ribuan ex.mahasiswa lainnya di indonesia. Menganggur, dan jauh dari
lapangan pekerjaan. Sungguhlah aneh dunia ini, kawan.
Sudah banyak copyan ijazah yang
telah kulegalisir, dan mencari lowongan kerja, tapi hasilnya, nasib indah belum
berpihak kepadaku. Sungguhlah tragis hidupku ini bila di cicipi dengan kedukaan
batini.
Tapi aku bangga pada diriku
sendiri, selama masa-masa kuliahku dulu, aku telah mampu membiayai kuliah
dengan cara menjadi tukang parkir dan loper koran. Maka dari hasil penghasilan
yang kuperoleh dari kedua pekerjaan hebat itu, aku telah mampu menyelesaikan
kuliahku tanpa meminta sepeser pun dari orang tuaku di kampung.
Dulu aku berhayal ingin menjadi
orang penting, orang hebat. Orang yang berguna bagi bangsa dan negara. Sesuai
petuah Pang Laot tempo dulu. Tapi apa boleh buat, kini mimpi bukanlah seperti
yang kuharapkan. Aku teringat pada masa-masa kecilku dulu. Waktu itu, ayahku
adalah seorang kepala desa, ia adalah seorang Ayah yang sangat menyayangi
anak-anaknya. Dan Ayah adalah guru pertamaku.
Semenjak kecil, aku telah di
ajarkan membaca Al-Qur’an, mengenal huruf-huruf hijaiyah mulai dari Alif, sampai Yaa. Dan aku mampu membaca Al-Qur’an dari apa yang diajarkan Ayah
kepadaku. Ayah juga mengajariku cara berhitung, dari cara yang paling sederhana
dalam pelajaran Matematika; cara menjumlahkan bilangan genap dan ganjil dan
sebagainya hingga belajar mengatur waktu untuk tidak lupa pada Shalat.
Dan yang paling kuingat, Ayah
selalu mengajakku ke kota, ketika saat berbelanja peralatan dapur Ibuku. Dan di
kota pun ia mengajariku cara berhadapan dengan orang-orang, dengan sopan santun
bercakap dengan orang-orang.
Dan Ayah pernah mengatakan
kepadaku. “Zaki, kalau kau sudah besar, janganlah sombong kepada orang-orang,
Ayah tak suka seperti itu. Sombong itu adalah sifatnya syaitan.”
Aku pun mendengarnya sampai
sekarang.
Ayah adalah orang terhebat di
dunia. Dan Ibu, adalah wanita nomor satu di dunia. Bagiku, Ayah dan Ibu adalah
pelita hidupku, mereka adalah mutiara yang terindah yang takkan pernah luntur
kilaunya. Tapi selama ini, aku telah lama tinggal di kota, sudah lama aku tidak
pulang kampung. Hasrat hati menunjukkan begitu rindunya aku kepada Ibu dan
Ayah. Dan Bardan.
Kudengar, Bardan sudah menjadi
nelayan di sana, dan sudah mempunyai perahunya sendiri. Mungkin aku akan
melepaskan kerinduanku padanya, nanti. Sudah lama tak kulihat wajahnya.
“Ah, kau Bardan, sedang apa kau di
kampung! Pasti kau sudah kaya!” terbesit hati ini mengingat si Bardan kampungan
itu.
Di kamar ini, aku duduk termenung
mengingat-ingat masa lalu, masa-masa euphoria6
hujan di pantai Kuala. Aku, Bardan dan juga anak-anak lainnya, bermain bola
di pinggiran pantai, dan hujan pun sangatlah lebat waktu itu. Aku teringat,
Bardan yang satu tim denganku, memberi umpan crossing kepadaku, dan bola pun melayang,
melewati dua pemain lawan yang menghalau
gerakanku. Ah, nasib berkata lain, aku berlari sekuat tenaga, menuju kotak
pinalti dengan gesit, dan tiba-tiba, aku menyandulkan kepalaku bersamaan dengan
bola yang terbang tepat di atas kepalaku. Ah, indah nian tugasku itu. Sebagai
penyerang, aku wajib melakukan penyerangan tiada ampunan. Dengan cepat, dan
sedikit melompat, menyundul bola dengan cermat, melayang, dan jatuh terjungkal
dengan kepala menyerobot pasir.
“Goooooollllll……!!!!” teriakan
teman-teman di belakangku.
“Aih, rupanya masuk!” aku tertawa
dengan pasir yang masih menempel di gigiku. Aku telah menyelesaikan pekerjaanku
sebagai penyerang, dan telah terjadi goal yang kesekian kalinya hasil karya
semangat yang tinggi menjulang.
Euphoria pantai, dan hujan.
Begitulah keindahan masa-masa kecilku di kampung. Kini, entah mengapa hati ini
sungguh merindukan masa-masa itu kembali lagi. Entah mengapa, tiba-tiba aku
merindukan mereka di rumah; adik-adikku yang selalu menanyakan tentang bagaimana
kabarku di kota.
Dan di kota, aku telah mengenal
seseorang. Seorang wanita yang cantik parasnya. Wanita yang selama ini
membuatku tenang, dan nyaman dalam menghadapi cobaan demi cobaan. Wanita yang
aneh, tak habis kupikir, entah mengapa dan dengan sebab apa dia menyukaiku sebagai
mahasiswa tukang parkir dan loper Koran. Sampai sekarang pun, aku masih
pengangguran, tapi ia masih saja setia kepadaku. Aneh betul perempuan itu. Nisa
namanya, sebuah nama yang cantik, yang telah kuukir dengan indah di relung hati,
selama 3 tahun lamanya.
“Baiklah, esok minggu, aku akan
menemui kalian semua!” bisik hati.
Hari minggu esok, aku akan pulang
kampung, dan melihat semua orang-orang yang kusayangi. Dan aku juga akan
merasakan indahnya jingga bersama Bardan, si pelaut dari seberang. Maksudku,
Bardan si pelaut dari pulau seberang; yakni pulau kerinduan!
***
Rupanya
Tuhan berkata lain. Ribuan manusia, bahkan jutaan umat di muka bumi menangis
tiada henti. Aceh, minggu 26 Desember 2004 telah menjadi negeri yang
berantakan. Hancur berkeping-keping. Seluruh pesisir diam membisu. Dimana ombak-ombak
raksasa memamah mangsanya dengan rasa tiada ampunan. Kota Banda Aceh, kehilangan
mahkota. Ratusan ribu nyawa melayang entah kemana. Aku, duduk membisu di
halaman kost-ku.
Yang kulihat hanya ribuan nestapa
tergelepar begitu saja. Ada ribuan liter darah yang mengalir sia-sia. Jutaan
bunga bangsa pun terjerembab sepi dalam benteng kehidupan.
Tak
bisa kubayangkan. Pagi itu adalah pagi yang menyeramkan. Kebetulan aku menyewa
kost di daerah yang tinggi daratannya. Maka aku hanya bisa memandang kesedihan,
dan kedukaan yang tiada bandingan. Luka dan nestapa menimpa negeriku.
Aku
membisu. Hampa hatiku. Tiada rasa apapun. Seperti mimpi.
“Ayah,
Ibu… apa kalian masih hidup?” kesedihan mendera batinku yang terdalam.
Betapa
hancurnya hatiku saat itu. Mayat-mayat bergelimpangan dimana-mana. Aku semakin
takut, ketika kulihat pesisir pantai Ulee Lheue yang dulu sangat padat dengan
bangunan dan rumah-rumah serta gedung kantoran dimana-mana. kini hanyalah
tinggal tanah berkubang ribuan mayat.
Dua
hari setelah bencana dahsyat itu, aku langsung kembali ke kampungku. Dengan
hati yang hampa di perjalanan, aku hanya bertanya-tanya pada diriku sendiri.
Apakah nanti, setibaku di kampung, masihkah ada orang-orang yang kucintai
tersenyum kepadaku, dan menyambutku dengan bangga dengan hidangan Timphan balon srikaya7 di
atas meja. Hampa tak terkira, aku masih bertanya-tanya. Bagaimana nasib keluargaku,
dan seluruh Kuala-ku?
***
Takdir bukanlah penentuan yang kita tentukan sendiri.
Takdir hanya penentuan dari Yang Maha Esa. Manusia hanya menjalankan apa yang
telah tertulis pada takdir. Begitu juga negeriku, yang harus menjalani
takdirnya dengan kesedihan yang tak pernah usai; dari deraan siksa di masa
konflik antara Gerakan Aceh Merdeka dan Tentara Indonesia, kini negeriku harus
merasakan kesedihan yang begitu membara oleh terjangan air bah yang
menghancurkan segala yang ada.
Aku
tertunduk, ketika mataku melihat seisi kampungku, yang tiada satu pun rumah
tersisa. Yang hanya berdiri adalah masjid dan meunasah. Yakni tanda kekuasaan
Allah, pada dunia.
“Ayah…
Ibu…”
Hatiku hanya mengulang-ulang nama
mereka yang kucinta sepenuh jiwa dan raga.
Selama berbulan-bulan aku mencari
dimana jasad mereka, tapi kutak tahu dimana rimbanya. Kini aku harus bangkit,
dengan orang-orang kampungku yang tersisa. Hanya dengan cerita-cerita Wak Uma
tentang kampungku dan keluargaku semasa sebelum bencana, aku mampu bangkit
dengan semangat dan tekatku yang mengeram kepedihan.
Di Kuala, kami mendirikan
tenda-tenda pengungsian dan juga tenda-tenda pendidikan. Banyak anak-anak yang
telah kehilangan orang tuanya, kami asuh dengan baik dan memberi pendidikan
moral serta pengetahuan sebagaimana mestinya.
Hampir setahun berjalan dengan
kepasrahan. Aku hanya membisu dengan ketidak pastian hidup. Maka di suatu
ketika, aku di ajak Wak Uma untuk menemui seseorang. Ia adalah nahkoda kapal
yang akan berlabuh di ujung pantai Kuala. Wak Uma tidak mengatakan siapa orang
tersebut. Yang kutahu dari orang-orang, dia adalah anak desa yang telah
merantau ke luar negeri, dan menobatkan dirinya sebagai pelaut dari negeri
Kuala. Sepenggal cerita tentang nahkoda tersebut, kutahu dari orang-orang
kampung, dan mereka juga memuji tentang kebaikan nahkoda kaya itu.
Di ujung Kuala, kami menunggu
nahkoda yang katanya sudah pernah ke India, Kamboja, Srilangka, Jepang, bahkan
pernah tinggal di Eropa. Aku sendiri tak sabar menunggu kedatangannya. Batinku
ingin sekali bertemu dengannya. Siapakah gerangan nahkoda itu, aku ingin
mengenalnya.
Senja itu, Wak Uma hanya menatapku
dengan tenang. Ia mengulum senyum. Tapi aku sendiri tidak tahu apa maksudnya,
menatapku dengan matanya yang kian lama, kian berkaca.
“Nak, kau pasti akan kenal
dirinya…!” kata Wak Uma kepadaku.
“Siapa….?” tanyaku dengan wajah
hampa.
“Dia, nahkoda kaya yang kita tunggu!
Dia telah banyak membantu kampung kita sewaktu kau merantau ke kota.” Wak Uma
menjawab dengan penuh rasa bangga.
Maka matahari akan segera mulai
tenggelam. Di ujung penglihatanku, aku melihat sebuah kapal besar. Bentuknya
seperti yang tergambar pada mata uang kertas seratus rupiah. Kapal besar itu terus
mendekat. Pasti saja kaptennya gagah tak terkira. Aku meyakini ujaran batinku
sendiri. Pastilah kapten kapal itu orang hebat!
Perahu itu terus mendekat dan
berlabuh. Orang-orang menyambutnya dengan riang dan senang. Para awak kapal
turun dengan menenteng beberapa peti bawaan. Kulihat, di tengah-tengah awak
kapal yang sedang turun ada seseorang yang berpakaian lebih rapi daripada awak
kapal lainnya yang berbaju seadanya.
Orang-orang mendekati mereka dengan
gembira.
Aku, dan Wak Uma hanya berdiri di
pojok dermaga, di bawah pandanus tectorius yang biasannya tempatku merenung
dengan sahabatku Bardan.
Dengan tenang, aku berdiri sambil
tersenyum. Melihat orang-orang kampungku yang begitu senang bukan main. Seakan-akan
yang mereka tunggu itu adalah keluarga mereka sendiri. Dan nahkoda itu pun,
berjalan mendekat kearahku. Dari tadi kuperhatikan wajah nahkoda itu selalu
mengarah kepadaku dan Wak Uma. Dengan tenang ia melangkah ke pojok dermaga. ia
mendekat, dan kami pun mendekatinya. Aku membisu. Langkahku seakan memaksa
diriku melangkah lebih dekat dengan kapten kapal itu. Setelah berjarak sekian
meter, aku dan kapten kapal itu saling berpandangan, saling tercengang, Wak Uma
mengatakan kepadaku seraya menyebutkan siapa sebenarnya nahkoda yang kami
tunggu-tunggu itu.
“Zaki, inilah Pang Kuala Radja
Bardanus Setia!”
Air mataku langsung membasahi kedua
pipiku. Bardan yang dulu kukenal sebagai kuli penarik pukat, ternyata telah
menjadi orang hebat. Bardan memelukku dengan erat. Aku terisak-isak menahan
tangisan yang menyesakkan dada. Bardan menangis dengan tenang, seperti ia
melepaskan kepergianku dulu di muara dermaga. Tanganku tak kuat memeluknya, aku
tak pernah mengira akan mimpi-mimpi Bardan sahabatku, ternyata benar-benar
terlunasi.
“Ki, apa kau tahu… ketika kau
berangkat ke kota. Aku bersusah payah membuat perahuku sendiri. Untuk bermimpi
keliling dunia! Sama seperti kau yang merantau ke kota dengan tekat ingin
menjadi orang pintar kan?” ucap Bardan kepadaku.
Dan langit tampak jingga memesona.
Logam orange di ufuk barat, telah menyaksikan tentang pertemuan sepasang
sahabat yang saling hidup sebatang kara.
Sesambil berjalan menuju masjid,
Bardan bertanya.
“Ki, apa yang akan kita bangun di
kampung kita ini?”
Aku hanya menjawab: Rumah Sekolah,
Balai Pengajian, dan Lapangan Bola.[]
Aceh, Maret
2012
Aroelika Munar
Catatan
:
Keutapang : sama halnya pohon Ketapang.
Pukat : adalah sebutan orang Aceh untuk
Jala penarik ikan.
Laumahfudz : Buku Induk segala makhluk, yang
sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an.
Pandanus
Tectorius : adalah nama ilmiah
untuk pohon pandan.
Meunasah : bahasa Aceh untuk Surau.
Timphan balon srikaya :
Kue khas daerah yang di balut dengan daun pisang, dan di beri rasa
srikaya di dalamnya.