-->

Perempuan Bercadar Hitam

Gagak tua bersikukuh menelan malam gua tua seberang desa. Curi-curi pandang, dalam senyap menerpa sunyi. Gemintang lenyap sendu padam. Berawal dari sudut dinding hati yang berkabut mengintai nadi.

Sayang sekali, nenek tua itu paruh renta menelangah 360 derajat menatap langit, dingin, gigil membumi. Sosok dara berendam garang pada dirinya. Ia kuat melawan takdir, mengusap peluh dari hari kehari, mencari akar mimpi dimana kelemahan diri. Binar-binar matanya mengutarakan lawan arus pergolakan nasib, menjadi seorang buruh kebersihan Kota Juang Kabupaten Bireuen.

Fajar mulai menyingsing, anak panah pada jam dinding, meregam angka empat. Empat pagi ketika ayam telah lelah menjadi alarm alam berdawai mentari. Bak seorang ratu ninja, mengusap-ngusap jalanan dengan sapu lidi tua. Melerai debu2 bekas hempasan mobil-mobil mewah para pejabat kota. Tak sejalan dengan wujudnya itu, nenek tua bercadar hitam, menjelma peri pembersih kota.

Derap langkahnya mengusik malam menjadi pagi, harus bersih, harus cantik, harus indah untuk mata-mata yang sedang rabun pengguna pagi, siang dan malam nanti. Jeritan hati berkabut mimpi, menoreh penghargaan yang tak pernah diakui oleh banyak insani dimuka bumi.

Tak disangka, cadar hitam itu menyibak tirai hati penuh keikhlasan. Melempar senyuman untuk ribuan pengguna kota. Mengitari bayangan semu yang menjulang tinggi, bersama gerakan-gerakan motoriknya nun indah dan suci.

Wahai
perempuan bercadar hitam, engkau begitu terpendam, untuk menampakkan wujud aslimu. Wujud suci berhati ikhlas, wujud asli seorang ratu ninja pembersih kota. Ternyata engkau adalah peri yang indah dan menawan.


Aroelika Munar, 16 April 2008. (03:10 WIB).
LihatTutupKomentar