-->

Tiga Mimpi Pemuda Kampung

-->
Hari mulai sore. Ombak-ombak berdebur bergemuruh mendendangkan nyanyian senja di bawah langit jingga. Aku melamun sendiri disana. Berdiri dibawah dahan-dahan sekumpulan Pandanus Tectorius, pohon pandan setinggi pokok kelapa gading. Aku terperangah ke atap bumi. Ke langit jingga. Di ujung sana terpajang logam orange berparas sendu. Aku sedang menatap matahari terbenam di ufuk barat.
Sore ini mengingatkan ku pada dua orang sahabat setia, yakni Fauzan dan Saipul. Dua sahabat karib yang menceritakan impiannya masing-masing pada langit dan bumi. Impian yang di bungkus rapi di bawah dahan Pandanus Tectorius. Di ikat rapi dengan panjatan doa kepada Ilahi Rabbi. Tertulis tiga nama pemimpi kelas rendahan, yang hanya mengharapkan keinginan batin untuk tercapainya impian hati suatu saat nanti. Dan masing-masing melemparinya jauh ke dasar lautan hindie. Terapung-apung di bawa arus gelombang. Berpencar. Diantaranya ada yang ingin menjadi mahasiswa di Negeri orang, dan mendapatkan gelar sarjana di bidang agama. Itu Fauzan. Ia ingin sekali sekolah di luar negeri. Impian yang luar biasa tak terkalahkan bagiku. Ia menentang kegalauan batinnya yang bekecamuk karena kedua orang tuanya sendiri tidak mendukung tentang apa yang ia cita-citakan. Sungguh maha pilu bagiku, sebagai sahabatnya sendiri melihat keadaan dan kondisi Fauzan ketika itu. Namun Fauzan tetap tegar menghadapi kegalauan batinnya yang semenjak itu berstatus sebagai santri di salah satu pesantren tradisional terkenal seantero negeri rencong. Dilematis sekali bukan.
Dan Saipul, ia ingin jadi aparatur Negara. Apa saja boleh! Yang penting bisa pakai baju dinas seragam berlogo Keamanan. Itulah Saipul sobatku satu-satunya yang berwatak sedikit pelit. Tapi ia sahabat yang baik budi. Ia sungguh luar biasa bagi kami. Pulang sekolah, ia langsung merapat ke areal terminal bus kota. Disana ia menjual keripik pisang yang merupakan salah satu makanan khas kota Bireuen. Urusannya, jika ada mini bus atau kendaraan pribadi yang menginjak rem dan berhenti di depan rak keripiknya, langsunglah sahabatku Saipul mendendangkan nyanyian merdu yang mendayu rayu. Liriknya mudah sekali, gampang sekali di hafal oleh manusia lain yang menggemarinya. Dengan nada rendah maupun tinggi. Ia sungguh lincah dan gesit menyuarakan lirik lagu merdunya di tengah-tengah apiknya keramaian terminal bus kota terbising di dunia. Mari kita simak baik-baik lirikan lagu yang ia nyanyikan setiap kali menghampiri penumpang bus.
Keripik maniiiss, keripiiik maniiis… inilah keripiiik maaaniiiis... mari- mariii kemarilah membeliii… iniii keripiiik maniiis sekaliii...”
Sebuah lirik lagu termahal di dunia. Maksudku termahal di terminal bus itu kawan.
Maka jika kedua sahabatku mempunyai impiannya masing-masing. begitu pula dengan diriku yang kurus kerempeng ini. Aku juga punya mimpi. Sebuah mimpi yang jauh sekali melenceng dari profesiku sendiri yakni sebagai mahasiswa Fakultas Teknik di sebuah universitas swasta daerah Kabupaten Bireuen. Aku memendam sebuah keinginan yang malah aneh luar biasa. Mungkin begitu kira-kira pendapatku. Ya, sungguh aneh luar biasa!
Aku bermimpi untuk dua cita-cita. Yaitu bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil dan menjadi penulis terkenal di jagad nusantara ini. Aneh sekali bukan? Satu impian batin yang mengarah pada dua cita-cita. Itulah mimpiku. Mudah-mudahan mimpi itu terwujud, dan terbawa arus gelombang samudera hindie hingga sampai pada alamat yang dituju. Alamat-alamat itu kemudian di sahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Dan terciptalah tiga impian yang begitu nyata dikemudian hari dari tiga pemuda kampung rendahan ini. Dengan sesuai keinginan masing-masing, yang berdahulukan dengan satu alunan kalimat syahdu sesyahdu-syahdunya yakni: Insya Allah.
Kini aku teringat dengan kejadian lima tahun silam. Pada tahun dua ribu lima lalu, kejadian yang tak pernah terduga itu pun terjadi. Kami bertiga, Fauzan, Saipul dan aku, mengambil sepeda masing-masing. Menuju kearah utara dari kampung kami. Melewati sawah-sawah yang sedang hijau pekat memikat hati. Areal persawahan yang sangat luas-meluas. Mendayung sepeda melewati jalan-jalan setapak kampung tetangga desa kami. Lurus, berbelok-belok sedikit karena terjadinya persimpangan dijalanan. Disana, di ujung jalan ketika sepeda akan take off di sebuah pantai, terlihatlah satu pohon besar. Pohon ketapang namanya. Kadang-kadang terlihat samar bayang-bayang hitam, berdiam di bawah pohon besar. Sesekali bayang itu hilang satu persatu. Semakin dekat kami mendekati ujung jalan itu, barulah tampak, rupanya bayang-bayang samar itu tadi hanyalah beberapa orang nelayan kampung pesisir pantai. Mereka sedang menunggu pukat. Lalu kami menyapanya dengan senyuman. Dengan lumrah para nelayan juga membalas dengan senyuman pula. Karena orang-orang kampung pesisir memiliki sifat peramah, mereka juga sering kali mengajukan kalimat-kalimat tanya seraya sedikit mencipitkan mata, melebarkan kedua pipi naik ke atas, juga menampakkan gigi-gigi putih yang berjejeran di balik bibir mereka dan bergambarlah berbagai jenis senyuman sambil menanyakan sesuatu pada kami:
“Dik, mau mandi ya?” Tanya salah satu nelayan.
Dengan spontan pertanyaan itu di tangkis oleh salah satu dari kami. Fauzan lah ternyata yang menangkis pertanyaan itu dengan tiba-tiba.
“Bukan pak cik, kami kesini mau bermimpi”. Jawaban yang keluar dari mulut Fauzan sahabat baikku ini.
Aku dan saipul terperangah pada wajah fauzan yang polos itu.
“Wah… mau bermimpi apa kalian, dik?”. Nelayan itu menanyakan lagi sambil tertawa menyenda.
Fauzan hanya diam, dan menatap para nelayan itu satu persatu. Tak ada kata-kata lagi dari fauzan. dia menunduk, sambil berjalan kearah pantai. Kemudian ia menoleh kebelakang. Dan terlihat dari wajahnya, seakan ingin mengatakan sesuatu. Tak lama dari satu menit, ia berbalik badan dan berkata.
“Kami mau bermimpi, jadi orang hebat nantinya!”.
Terdengarlah gelagak tawa menjulang tinggi meramaikan suasana pantai sore itu. Dan salah satu dari nelayan itu membalas lagi.
Jadilah orang yang berguna bagi agama dan negaramu dik”.
---@@@---
Masih sore itu. Sesudah kecapean berenang di pantai tersebut. Kami bertiga memisahkan diri dengan air laut. Dan berjalan menuju pohon Pandanus Tectorius itu di tepian pantai. Fauzan menarik tanganku agar aku mengikutinya menghampiri saipul yang sedang duduk di bawah dahan pohon Pandan besar itu.
Sambil menuangkan kopi hangat ke dalam kemasan kecil kosong air mineral. Sambil mengeringkan badan, kami saling bergurau. Aku dan Fauzan suka sekali membuat saipul jengkel, merajuk bahkan terkadang ia sampai marah semarah-marahnya pada kami. Sampai-sampai pernah pada satu malam saipul menangis sepanjang malam karena ulah kami tersebut. Nanti saja ku ceritakan sedikit banyaknya tentang semua akal jelek kami terhadap saipul sahabat setia kami ini, kawan.
Sore itu, bosan mulai menyelinap masuk secara diam-diam kedalam tubuh kami. Langit mulai senja. Matahari dengan berlahan akan turun menenggelamkan diri kedasar lautan. Dan rasa bosan itu hinggap pada kami tanpa permisi. Setelah kopi kami habis. Kami duduk sejajar di tepian pantai. Menatap senja. Yang segera akan menampakkan wujud aslinya.
Sengaja tak sengaja, Saipul bangun. Dan berdiri dihadapan kami. Saipul menunjuk telunjuknya kearah fauzan. sambil berkata.
“Fauzan, mau jadi apa kau nanti, hah?” saipul menanyakan dengan tiba-tiba, tak ada kesepakatan interview lebih dulu.
Aneh sekali ia hari ini. Salah makan apa dia ya? Tak biasanya dia menanyakan akan hal seperti itu sebelumnya pada fauzan.
“Tanyakan dulu pada dirimu itu Pul…”. Fauzan membalas dengan santai.
“Ah, kau. Selalu begitu! mengelak pertanyaanku bila ku ajukan padamu!”. Saipul menggerutu sambil menyatukan dua alis matanya. Berarti ia sedang kesal sekali dengan balasan Fauzan itu.
“Kalau aku, suatu saat nanti aku ingin sekali memakai baju seragam berlogokan Dinas Keamanan, apa saja boleh. Mulai dari Satpam, Polri, TNI dan sebagainya, tak jadi masalah bagiku. Yang penting aku jadi pakai baju dinas berlogo satuan keamanan”. Ujar Saipul kepada kami seraya menggaruk-garuk kepalanya yang penuh dengan ketombe itu.
Memang, kami melihat dari hobinya sendiri, suka sekali bergaya seperti polisi, atau tentara dan sebagainya yang bergaya militer. Kadang-kadang ia suka bercerita pada kami, cerita tentang orang-orang yang sedang berada dalam sebuah rimba yang senantiasa gugur dalam perang untuk hak dan martabat bangsanya sendiri tempo dulu. Saipul banyak mendapatkan cerita seperti itu dari kakek atau sanak familinya yang berdomisili di daerah-daerah pedalaman. Dan merekamnya, lalu menyiarkan rekaman itu pada kami. Begitulah sosok Saipul yang kami kenal.
”Nah, bagaimana dengan dirimu fauzan? ceritakan pada kami tentang apa saja yang kau rasakan sekarang ini.”
Saipul belum puas dengan jawaban fauzan atas pertanyaannya tadi.
Dengan sigap, fauzan mengambil segumpal pasir. Menggenggamnya dengan erat. Dan menunjukkan pada kami.
”Lihatlah sobat, segenggam pasir ini akan hilang dengan sendirinya dalam genggamanku. Semakin ku genggam erat, semakin cepat pasir ini akan tumpah dengan sendirinya. Dan genggaman sekuat apa yang harus ku lakukan agar pasir ini tak mudah hilang dalam genggamanku?”
Aneh. Fauzan mulai bicara. Seperti orang ngelantur. Apa maksudnya? Ia membuat kami kebingungan. Lalu Fauzan melanjutkan.
”Aku tak yakin, dengan apa yang kurasakan saat ini. Aku tak akan mendapatkan apa yang ku inginkan nanti. Aku disini bagai sendiri menatap dunia. Aku merasa jauh dengan keluargaku. Ibuku menyekolahkan ku agar suatu saat nanti aku bisa mengikuti jejak seperti dirinya sebagai guru Sekolah Dasar. Sebagai pegawai negeri dan mendapatkan gaji perbulan untuk mencukupi hidupku nanti. Tapi aku sendiri tak mau seperti itu…”.
Kami terdiam mendengar ungkapan hati fauzan. dia mulai menunduk, seakan ia tertekan dengan sebuah rahasia perasaan yang tersimpan dalam dirinya. Ia tak lagi mengangkat kepalanya. Ia tertunduk menatap pasir pantai. Dan ku lihat di atas pasir severtikal dengan wajah yang tertunduk itu. Tetes demi tetes air mata jatuh bagai rintikan hujan di sebuah padang tandus nan gersang. Air mata sahabatku itu mulai mengajak kami ikut berenang di dalamnya. Dan kami mendengar sepatah kata dari wajah tertunduk itu. Terbata-bata ia mengejanya. Menahan sesak di dadanya. Dan berujarlah sepotong kalimat pendek tak bertanda Tanya maupun tanda Seru.
“Sungguh suatu saat nanti. Aku ingin sekali kuliah di luar negeri, menuntut ilmu agama.”
Kami mencatat baik-baik dalam diri kami ungkapan jiwa Fauzan saat itu. Aku memegang pundak Fauzan, dan Saipul ikut merangkulnya. Dengan perasaan takjub, kami mencoba menenangkan goncangan batin Fauzan. Dan dengan tenang Fauzan menghentikan sungai air matanya dengan perlahan-lahan. Kami bangga pada fauzan. dia mempunyai kepribadian yang tegar. Dia sahabat terhebat dari yang terhebat. Best of the best!
Senja mulai menampakkan wujud asli keasriannya. Di ujung sana terlihat satu logam orange, bulat sekali. Diam-diam logam orange itu dengan perlahan akan segera jatuh ke dasar samudera hindie. Tak ada yang tahu dimana rimbanya.
Kami mulai berdiri, dan menuju bibir pantai. Dalam canda tawa kami berdendang ria bergurau bersama. Bersamaan dengan tenggelamnya senja. Fauzan membisikkan sesuatu pada Saipul. Aku merasa tersinggung karena ulah mereka. Dan dengan tiba-tiba. Saipul pun mencegatku dengan pertanyaan gaya militernya itu.
“Hei kau! apa yang akan kau cita-citakan nanti sobat!”. Saipul memegang pergelangan tanganku seperti ingin menangkap jawabanku segera mungkin.
Aku tertawa sambil mengawal sang senja tenggelam di ufuk barat. Dan sedikit berteriak pada telinga saipul.
“Mungkin suatu saat nanti… Aku akan jadi pegawai negeri sipil di tanah Aceh. Dan jadi penulis terkenal di Indonesia raya”.
Tertawalah kami sepuas mungkin. Sambil berlarian menuju sekelompok Pandanus Tectorius untuk mengambil baju yang telah kering kami jemur sebelumnya. Segera kami mengambil sepeda masing-masing. Dan berangkatlah kami ke surau terdekat. Hari telah Maghrib.
---@@@---
Oleh: Aroelika Munar
Mtg Glp Dua, 07 November 2010.
LihatTutupKomentar