(True Story)
Api unggun membuatku sedikit hangat, dari sela-sela dahan-dahan raksasa itu, aku tak melihat ada sinar bulan menyorot bumi. Gemintang pun redam.
HARI mulai gelap, para jangkrik bersiap-siap mendendangkan nyanyian malam. Arlojiku menunjukkan pukul 18.30 Wib. Aku duduk disebuah warkop tak jauh dari terminal bus angkutan umum Medan – Banda Aceh, dengan secangkir kopi hangat diatas meja bertaplak bunga sakura. Aku sedang menunggu seseorang, yakni seorang sahabat setia dan juga sekaligus sebagai mitra kerjaku di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) kampusku. Namanya Rahmat Gondrong. Nama yang unik, yakni sebuah nama penghargaan terbaik tahun ini dari kami, sahabatnya kampusnya. Menurutku nama tersebut sangatlah cocok dengan gaya rambutnya yang keriting panjang sebahu. Rahmat Gondrong. Nama yang tak tergantikan!
Langit tampak mendung, dan awan berarak-arakan membentuk warna hitam kelabu di atas kota Bireuen alias Kota Juang. Dan langit segera menghujani tanah kami. Bireuen pun basah seketika.
Tak lama kemudian datanglah seorang pemuda dengan tergesa-gesa menghampiriku, dengan tentengan sebuah tas mini, dengan gaya rambutnya kriting gimbal sebahu, bertopi macam koboi, dengan jeans sobek di paha, juga terpampang di lehernya sebuah kalung besi putih bergulungan, seperti gulungan rambutnya yang keriting dan gimbal tak beraturan itu. Pokoknya acak-acakan bener deh orangnya. Susah diatur.
Dari sinar matanya kulihat, sebuah pancaran semangat besar yang membabi-buta menyala-nyala tak beraturan. Mungkin dia sedang penasaran. Bersikukuh untuk tetap berangkat ke Bener Meriah. Walaupun hari menjelang maghrib dan hujan lebat mengguyur kota kami, kota kripik pisang.
“Ah, mungkin saja ia sedang menyimpan sesuatu yang tak bisa kuketahui begitu saja”. Gumamku dalam hati.
~∂~
Kawan, selama ini aku hanya menceritakan betapa hebatnya akan perjalanan kami nanti pada Rahmat, pada saat kabut dingin menyelimuti tubuh kami, melewati hutan kopi ribuan hektar, menapaki jalan beraspal goreng bergelombang naik turun, bertutur sapa dengan orang-orang kampung yang ramah. Dan yang paling asyiknya lagi, ketika nanti sampai di kaki gunung, kita akan menyempatkan diri untuk sedikit waktu membasuh muka dan menghilangkan dahaga dengan air terjun di dekat lembah.
Di sana masih banyak aneka flora maupun fauna yang mengesankan hati, bagiku nun indah dan menawan. Kujamin kita takkan bosan menikmati keadaan alam di sana. Apalagi jika kita telah memasuki daerah pendakian ke puncak gunung, terasa peluh menyengat berbalut keringat, tapi jiwa-jiwa pasti akan lega tak berdahaga, saat kita berhadapan dengan ribuan bahkan miliaran pohon Eidelwis yang berhamburan sepanjang mata memandang. Dan sedikit berpaling ke kanan, lukisan tangan Tuhan dalam bingkai raksasa bernamakan hutan gayo yang berserakan nan indah. Nun hijau melingkari satu titik bening kecil berkilau di ujung sana; itulah Lut Tawar, Takengon.
Dan kini mungkin saja sobatku Rahmat hanya penasaran dengan apa yang sudah kusampaikan padanya tadi pagi tentang rupa holiday awal tahun ini. Kulihat binar-binar matanya itu menunjukkan; bahwa jiwanya sangat bersemangat mendaki sebuah gunung berketinggian kurang lebih 2700 meter diatas permukaan laut itu.
“Mengasyikkan!” isyarat rahsia matanya menunjukkan begitu padaku.
Beberapa saat setelah menghabisi secangkir kopi hangat, kami bergegas membeli tiket angkutan umum dengan tujuan Aceh Tengah, tanah Gayo. Tapi tujuan kami bukannya untuk merasakan tawarnya air danau Lut Tawar, yang kata orang-orang danau tersebut sungguh sangatlah indah mempesona. Namun tujuan kami kesana ialah tak lain tak bukan hanya pergi untuk merasakan harmoni pendakian yang menantang ke sebuah puncak kerucut raksasa yang di selimuti oleh miliaran pohon eidelwis, dan gunung itu bernama: Burni Telong.
~∂~
Kami mempunyai seorang sahabat bernama Dipa, ia adalah seorang sahabat karibku yang mempunyai kepribadian tegas dan setia terhadap kawan-kawannya. Ia menyandang status sebagai mahasiswa di kampusku dan juga sebagai perintis Mapala di universitas Almuslim tercinta.
Sebelumnya, kami sudah menelepon Dipa yang duluan sudah berada di kaki gunung tersebut, agar nanti ketika kami sampai disana, Dipa dan kawan-kawannya bersedia menunggu kami supaya bersama-sama mendaki ketempat perkemahan. Namun Dipa tak mengizinkan kami untuk cari perkara dengan alam disana. Karena disana pun hujan sangat lebat. Apalagi kami pergi malam-malam buta dan tak membawa perlengkapan apapun. Tolol alias dungu! mungkin begitulah kata-kata yang pas buat kami berdua saat itu.
“Bang, kami sudah setengah perjalanan nih! Tak mungkin kami balik lagi ke Bireuen” kataku padanya lewat telepon seluler.
“Sudah kubilang kalau mau ikut harus berangkat dari siang! Bukan jam segini! Cari masalah aja kalian!” Dipa membentakku agar kami berdua tak menunda perjalanan ke Bener Meriah.
Aku tetap saja bertingkah sok nekat bin sok hebat, dan mengatakan padanya.
“Bang, walaupun rintangan menghadang, aku dan Rahmat tetap mau kesana. Dan kumohon padamu bang, tunggu kami disana ya....!” pintaku padanya agar ia tetap mau menunggu kami berdua. Walaupun kami harus rela mencicipi hardik dan cacian darinya nanti.
~∂~
Gelap telah menyelimuti malam. Tak kusangka hujan begitu lebat. Kulihat kaca mobil yang kami tumpangi, air hujan yang menghujam kaca mobil terlihat menyalar-nyalar guyuran hujannya bak anak-anak sungai yang saling berhimpitan merebut celah-celah kekuasaannya. Rupanya hujan tak berhenti sedetik pun selama perjalanan tadi.
Kekhawatiranku mulai menguap, apakah aku dan Rahmat akan sampai pada tujuan yang sesusungguhnya. Yaitu sampai di shelter pertama dan melepaskan lelah di tengah-tengah hutan lebat dengan ribuan pohon-pohon besar berdiri tegap–gelap menyerupai monster-monster raksasa. Dan apa mungkin, kami bisa menyalakan api unggun untuk menghangatkan tubuh sambil ngopi dan menghisap sebatang kretek beraroma nikmat; tembakau terbaik dan bermutu di Indonesia katanya. Ataukah nanti, ketika subuh datang dalam gelapnya rimba, kami membasuh muka dan mendengar suara azan menggemakan kemerduannya di kaki bukit sana.
Sungguh indah menawan serta mengasyikkan relung jiwa. Dan mungkin kami takkan sampai disana malam ini. Bisikan hati kecilku.
Aku tertunduk membisu. Dan Rahmat Gondrong yang belum tahu apa-apa tentang bagaimana alam disana, hanya diam termangu-mangu disampingku. Ditengah-tengah hutan gayo ini, membuat mataku tak tertahankan melihat wajahnya yang polos membingungkan itu.
“Mat, mungkin kita tak bisa melanjutkan perjalanan ini. Bang Dipa tadi bilang, disana, hujan lebat sekali, Mat! dia menyuruh kita balik ke Bireuen.”
Rahmat hanya diam, tak tahu harus jawab apa. Aku memegang tas mini yang di bawa Rahmat dan memeriksa sesuatu. “Apa kau membawa Head Lamp, Mat?” tanyaku.
“Wah, aku lupa....” jawabnya kaku.
“Ya ampun...! sudah kubilang kan tadi, jangan sampai lupa kau bawa Head Lamp itu...!!! bagaimana kita bisa mendaki. Disana gelap sekali, Mat!” hardikku pada Rahmat yang memang betul-betul sangat polos saat itu.
“Maaf... aku benar-benar lupa!”
“Berzikirlah banyak-banyak, Mat.” Gumamku dalam dada.
Aku tak tahu harus ngomong apa lagi padanya. Semakin lama kupandangi wajahnya, semakin polos pula wajah si bujang ini! Maka aku pun kebingungan, turut prihatin melihat kepolosannya.
Rasa takutku mulai menakuti jalan fikiranku; menggoncang-goncangkan aliran darah di tubuhku, lemas sudah badan dan otot-otot ini, dan akhirnya rasa takut itu merajai otakku dan turun menjadi ombak ganas menyerang perutku hingga mual-mual. Sungguh tak tertahankan! Akhirnya sesuatu yang bercampuran, mirip bermacam menu makanan yang disatukan dalam mesin blender, keluar dari mulutku, bau sekali, dan berhamburan. Aku muntah. Mataku berbintang. Kepalaku mendadak pusing. Aku mabuk darat!
“Mat.... kantong…plastik…nya…sudaaah peeeenuuuuhhh......”
~∂~
Perjalanan yang memabukkan. Aku tak berdaya melanjutkan perjalanan ini. Apalagi hujan tak kunjung reda. Sudah dua jam lebih kami di dalam bus mini. Berayun-ayun, sesekali kekiri, tak tunggu lama ke kanan lagi, kadang naik, kadang turun. Kontur jalannya berlika-liku memusingkan. Begitulah jalur transportasi darat di hutan Gayo.
Handphone ku berbunyi: “Dimana kalian!” tanya bang Dipa agak sedikit membentak.
“Eeemm... 15 menit lagi sudah sampai di Lampahan, bang.”
“Tut! tut! tut! tut..!”
Dipa langsung memutuskan teleponnya. Tak banyak bicara. Tak suka basa-basi. Begitulah seorang Dipa.
Tak lama kemudian, sampailah kami di perempetan jalan di dekat sebuah kampung. Aku dan Rahmat turun dari bus dengan tergesa-gesa. Dan langsung saja kulihat sosok anak muda berbadan gelap di dekat sebuah pondok kecil tepian jalan, seorang lelaki, kucermati dengan seksama. Aha... itu anggota Mapala. Mus namanya.
Aku paham, Bang Dipa menyuruh Mus menjemput kami di bawah nyanyian petir bersuara monster yang mengerikan dan juga menakutkan!
“Ayo, cepat!” Mus tak sempat berbasa-basi.
Aku melihat jam tanganku; wilayah Indonesia bagian barat menunjukkan pukul 22, lewat 10 menit. Kami harus melewati perkampungan yang tak banyak penduduknya. Rumah-rumah yang tak sama sekali berdekatan. Jarak rumah ke rumah berjauhan, tak saling berdampingan.
Sesekali kami melewati kebun-kebun kopi yang berhektar-hektar luasnya. Takut bercampur ngeri semakin berlabuh padaku. Apa lagi jikalau bertemu dengan dedemit sesat di jalanan. Bisa-bisa aku jatuh pingsan dibuatnya.
Kami di jemput Mus dengan sepeda motornya. Anggota lain yang bersama Dipa menunggu kami di kaki bukit sana. Kami pun menancap gas naik turun melewati perkampungan, apalagi dengan jalannya yang beraspal goreng hasil karya kontraktor-kontraktor rakus macam tikus, sungguh menjengkelkan. Aku pun naik darah, jengkel bin dongkol merasuk pikiranku malam ini.
“Kita hampir sampai. Kawan-kawan menunggu kita di ujung semak-semak sana!” tunjuk Mus sambil merapatkan keretanya kedalam alang-alang tinggi – setinggi bahuku.
Aku dan Rahmat, sudah tahu bahwa nanti pastilah kami berdua kena marah oleh kawan-kawan lain yang menunggu kedatangan kurcaci tengik sok hebat bin sok mantap ini. Terutama Dipa, yang sudah kutahu wataknya.
“Ayo! Tak ada waktu lagi.” perintah seorang Dipa.
Dipa langsung memimpin barisan paling depan. Aku dan Rahmat tak lagi berkutik. Kami harus jalan mengikuti barisan. Aku paling belakang. Rahmat dan aku dalam barisan yang panjang beranggotakan 11 orang berjalan seperti bebek yang baru pulang dari payau. Berderetan!.
Perjalanan kaki yang harus menempuh kurang lebih dua jam pendakian menuju shelter, tempat kami bermalam, membuat kakiku makin melemah. Aku kehabisan energi setelah muntah darat tadi. Rahmat di urutan kesembilan tak mengungkapkan satu patah kata pun. Aku tahu sesuatu darinya. Mungkin dia sedang takut akan kemarahan Dipa yang sebagaimana mereka telat mendaki hanya karena kami berdua sok nekat ini!
Dalam perjalanan kami, menggambarkan sebuah perjalan yang sangat mencekam. Apalagi tanahnya becek dan licin sekali. Tiba-tiba, barisan terdepan berhenti. Jantungku malah dag-dig-dug. Takut tak karuan.
“Berhenti! Ada orang lain yang mengikuti kita.” Ungkap seorang teman yang berada dalam barisan.
Barisan yang tadinya berjalan normal. Sekarang berubah menjadi upnormal. Kami dalam barisan hanya diam. Aku dan Mus mengerti. Teman kami yang biasa kami panggil dengan sebutan De, mengetahui sesuatu yang berbau magis. Sudah lumrah bagi seorang pendaki gunung memiliki sesuatu yang berkenaan dengan kekuatan supranatural, magic.
Kawan, nama teman kami itu bernama De. Ya, namanya De. Kalau kita mengeja namanya, pastilah berbunyi begini; De. Nama yang aneh bukan main.
“Ada apa, De....?” tanya seorang gadis yang tepat berada dibelakang De.
“Kau! Kau yang melambat-lambatkan perjalanan kita dari tadi kan?” bentak De sambil menunjuk kearah gadis yang juga anggota kami dalam barisan.
“Bukan...? bukan aku....!!!” suara halus gadis itu membuat kami panik.
Kawan, gadis yang kumaksudkan diatas bernama Tan. Ia teman kami yang paling lucu perangainya. Badannya tambun. Montok sekali. Kulitnya putih langsat dan berwajah sedikit imut-imut. Tabiat buruknya sangat susah ditebak.
Apabila kami berlibur dengan tujuan mendaki, kemana pun dan dimana pun tempatnya, Tan tetap saja selalu kemasukan setan atau jin jahat alam sekitar yang tak sinkron dengan manusia. Kalau manusia lagi kerasukan setan, orang kampung kami menyebutnya: Teumeugue. Dengan sebutan lain, Tan lagi Teumeugue. Maka obatnya adalah palu dan paku.
~∂~
Kami yang sedang panik, hanya bisa diam. Dan melihat ketegangan disana sini. Seperti nonton film saja. Mungkin inilah yang di sebut-sebut sebagai film berjudul “Horor”.
Dalam gelap, kami mendengar De membentak.
“Keluar kau sekarang dari tubuh anak ini…. Kalau enggak mau, kutendang kau kejurang sana..!!!”
Entah dengan siapa De berbicara. Sepertinya De sedang berbincang panas dengan setan yang berada dalam tubuh sahabat kami itu, Tan. Sepertinya De sudah tahu betul dengan keadaan disini. Dan setan apa yang menjelma masuk ke jiwa manusia tambun itu, De sudah tahu.
“Cepat...! kami tak banyak waktu disini!” bentaknya De lagi.
Tak tunggu lama, setan itu pun angkat tangan.
“Maaf... aku tak sengaja ikut kalian... Aku pamit dulu ya….”
Setan tengik itu pun angkat kaki secepat kilat. Aku yang di barisan paling belakang, sambil jongkok, aku ketawa cekikikan dalam gelapnya malam. Tak tahan aku mendengar gobloknya setan tadi. Masa baru di gertak saja sudah linglung dan melanglang buana. “Huh, dasar setan tengik!”.
Tan yang tadi kerasukan, tiba-tiba rebah. Kami pun harus membangunkannya dengan percikan air yang sudah di doakan oleh De. Akhirnya Tan bangun, dan kami pun melanjutkan perjalanan menuju shelter.
“Ayo, kita hampir sampai di shelter!” Teriak Dipa.
Hatiku sungguh tenang, gembira di padu bahagia. Aku dan Rahmat Gondrong akhirnya sampai juga di tujuan. Perlahan-lahan kakiku melangkah. Mencicipi dinginnya hawa belantara, dan sunyinya suara malam di tengah hutan. Wow, aku dan kawan-kawan di persilakan Dipa menyambut malam pergantian tahun. Pas pukul nol-nol lewat enam menit, kami memasuki sebuah tempat yang begitu indah.
Lampu-lampu kecil bertengger di atas dahan-dahan gelap seperti kunang-kunang, kerlap-kerlip cahayanya. Dan bivak-bivak dari dedaunan berdiri berbentuk segi tiga mungil-mungil, berhamburan di atas tanah basah. Beberapa api unggun menyala menghanguskan ranting-ranting pohon yang tentunya sudah patah dan kering.
Mataku memandang sebuah kampung kecil buatan anak-anak Mapala kampusku. Rupanya sebagian besar anggota lainnya sudah sampai di shelter itu. Dipa pun tak memberi tahuku dari awal. Kalau kutahu sebelumnya, malam ini begitu ramai, akan kubawa puisi-puisiku, dan membacakannya di depan seluruh anggota Mapala. Dan mungkin mereka bisa memberiku nilai plus di pembukaan tahun baru ini.
Aku tersenyum. Dan juga Rahmat kawanku satu-satunya yang bermuka polos itu juga tersenyum sambil menarik sebatang rokok dari kotak berwarna kuning. Dari penglihatanku, kotak kuning yang ada di tangannya itu cuma bertuliskan tiga angka saja; 234. Ya, menurutku begitu, itu rokok Tiga Angka.
“Mat... jangan senyum-senyum dulu... perjalanan kita belum usai..!! Besok pagi setelah subuh, kita mendaki lagi..!!!”
~∂~
Api unggun membuatku sedikit hangat, dari sela-sela dahan-dahan raksasa itu, aku tak melihat ada sinar bulan menyorot bumi. Gemintang pun redam.
Kuambil sebuah notes kecil, kutuliskan beberapa bait puisi yang mengena di hati. Kulihat si Gondrong, berdiri di dekat bivak kecil buatan Mus, menghadap kearah kami yang duduk mengelilingi api, pandangannya sungguh dalam, entah apa yang ia pandang, diantara telunjuk dan jari tengahnya, ada sebatang rokok tiga angka, sesekali di hirupnya, lalu beterbanganlah gumpalan-gumpalan asap berbentuk “O” dari mulutnya, bulat-bulat.
Si Gondrong itu, santai sekali perangainya. Aku pun tak tahu ia sedang memikirkan apa? Setahuku, ia sungguh senang berada di sini, di kawasan pegunungan ini.
Kuambil sebatang pena, kugoreskan goresan demi goresan, sampai menjelma menjadi sebuah puisi di atas kertas putih mini. Hingga aku pun tak tahu, apakah ini puisi romantis atau bukan? galak atau tidak? indah atau kagak? Yang kutahu, ini puisiku, lahir dari hati. Ya, hanya dari hati!
Tekadang sesekali kucermati Mus, dengan asyiknya menyantap mie instan dicampur sedikit garam, kecap secukupnya, tambah nasi seadanya, kelihatannya sangat nikmat, Mus menikmati mie sesedap itu di kaki gunung Burni, alamak, apalagi ditemani hawa dingin, sedingin minus 9 derjat Celsius. Aku pun tergoda pada aroma soto medan-nya!
Kucermati arlojiku, sudah pukul 2:15 Wib. Mataku semakin ngantuk, maka kutarik sebuah matras pemberian Mus, kuambilkan kain sarung yang kubawa, dan kulentangkan matras di dekat api unggun. Kulelapkan diriku agar nanti subuh, terbangun dengan kondisi badan lebih fit, dan melanjutkan pendakian sampai ke hujung Burni.
Di saku jaketku, kusisipkan sehelai kertas berisikan sajak hati. Sajak hati yang terdalam tanpa judul.
Aku punya cinta mati.
Aku punya kamu dan cintamu.
Kau sulit tuk kudaki dengan kaki dan nafasku
yang kering kerontang.
Tetapi,
Aku hanya bisa mendaki
dengan hati dan cinta matiku.
Aku takkan ragu milikimu.
Kerana kamu,
pujaan hati yg terindah
tuk dijelajahi.
~∂~
Tepat pukul lima pagi, kami melanjutkan pendakian. Cuacanya sangat dingin. Pemandangan yang masih gelap, masih seperti malam, tak ada cahaya fajar yang menyinsing. Karena posisi kami mendaki, berada di bagian barat dari posisi gunung berdiri.
Kami menapaki lorong-lorong kecil yang sempit dan mencekam. Rahmat berada tepat dibelakangku. Kami berjalan menelusuri belantara. Sunyi, senyap, penuh hati-hati.
Sampai di kaki gunung, pagi masih seperti malam. Dan kami, mendaki pelan-pelan. Dipa masih tak banyak bicara. Aku pun tak berani bicara. Dan sesungguhnya, Rahmat lebih-lebih tak berani bersapa senda dengan bung Dipa. Kalau katanya Sule; menurut pendapat tatang sutarman, kami bertiga masih sama-sama menjaga imej.
~∂~
Pendakian semakin seru. Pepohonan yang tadi lebat dan kekar, sekarang tak nampak lagi batang idungnya. Hamparan bunga eidelwis pun terbentang, semakin terang, tak lama lagi mentari pun akan segera datang.
Dan sejauh mata memandang, hanya hamparan eidelwis yang terpandang menyelimuti tubuh Burni bak permadani, kuning tembaga warna bunganya, hijau pekat daunnya, aku, Rahmat, tersenyum-senyum di antara padang eidelwis yang indah tak tergantikan ini.
Inikah ciptaanMu ya Tuhan? Aku bersujud di atas gunung kekar ini. Tanda syukurku padaMu, ya Allah.
Terlintas di benakku, ada sesuatu yang sepertinya kulupakan, dalam pendakian, aku menimbang-nimbang, entah, ada sesuatu yang mungkin telah kulupakan saat ini. Seperti orang yang sedang melupakan sesuatu. Kuingat-ingat.
”Ahaa... rupanya aku telah melupakan cintaku! Padahal, doi benar-benar marah padaku atas pendakian yang kurahasiakan padanya. Ah, Nanti saja! Nanti saja sayang, jangan marah-marah! Nanti akan kupetik si cantik ini, untukmu! Hanya untukmu sayang. Eidelwis!? Eidelwis!? Eidelwis ini sayang! Si bunga abadi!!! Pasti kau akan suka... dan takkan mencubit kupingku lagi. Ahaaiii....indahnyo bercinto!”
Aku yang sedang bermanja bahagia dengan sebuah cinta di dada, maka Rahmat Gondrong sahabatku yang kupikir juga sedang bahagia itu, rupanya punya cerita tersendiri, cerita yang jauh berbeda dariku. Rupa-rupanya, selidik demi selidik, si Rahmat yang nekat itu, si Gondrong yang polos itu, wak Rahmat yang benar-benar ingin berada di dekat burni ini, ternyata sedang menjalani peristiwa besar!
Sewaktu perjalanan tadi, rupanya Rahmat Gonrong ini, telah merasa lenyap dari peraduan, telah pupus harapannya. Kini Rahmat tak banyak bicara, daritadi kulihat, Rahmat yang tadinya berwajah polos, kini bahkan berubah drastis. Setelah di tolak cintanya pada seorang wanita idamannya, kini Rahmat memperoleh hak bermuka masam, dan berkewajiban berwajah muram. Kawan, Rahmat telah di tolak mentah-mentah cintanya oleh seorang wanita bernama Emi!
”Pantas saja kau ni, Mat! Nekat kau ke sini, rupanya mengejar si Emi...!” ha-ha aku tertawa sekuat tenaga.
”Dia tak mau menerima cintaku! Kupikir, gunung ini akan menjadi saksi yang indah. Ternyata tidak!” Rahmat mengeluarkan duri-duri batinnya padaku, dan aku menampungnya seikhlas hati.
”Iya, Mat, aku tau, kau begitu cinta padanya! Tapi sabar sajalah. Suatu saat nanti kau akan mendapatkan wanita yang benar-benar pas dalam hidupmu, yang benar-benar bisa menerimamu apa adanya.” nasehat ampuhku untuknya.
Rahmat benar-benar mencintai Emi. Dia pernah bercerita tentang perasaannya itu padaku. Emi adalah pujaan hati Rahmat secara diam-diam. Hanya dengan curi-curi pandang, Rahmat memendamkan cintanya yang begitu mendalam. Rahmat adalah sosok pria yang pemalu, ia lugu, bahkan dalam soal cinta sekalipun, ia benar-benar malu.
Dan akhirnya, kami pun telah sampai di puncak, di ujung kerucut ini, sekalian kaum pendaki, merasakan hangatnya sinar mentari.
Suara Azan menggemakan langit, tanda segala puji, bagi Tuhan dan Rasul-Nya. Dari suara Azan yang dikumandangkan oleh salah satu anggota Mapala, kami semua seakan merasakan indahnya Sang Pencipta. Agungnya pemilik semesta. Sejagad raya ini, adalah karya Tuhan yang nyata.
Indah menawan hati, dari puncak Burni kami berdiri, melepas pedih-peri, menuai sejuta bahagia, dan sejenak lirih, hilang tiada rasa. Dan aku pun bermimpi, selalu bermimpi, suatu saat nanti, kan kukenali diriku sendiri, dalam jati diri, menjadi penulis sejati.
Dan Rahmat, Dipa, juga Mus, adalah bongkahan-bongkahan batu permata, dalam jiwa dan raga, mereka selalu saja membawa unsur-unsur kesetiaan. Bahkan, sampai kehujung dunia pun, merekalah sahabat yang patut di hormati.
Maka kali ini, kutuliskan lagi sepucuk puisi di puncak burni. Kupersembahkan untuk kami di sini. Di pucuk burni pun jadi; inilah sajak hati.
Aku ingin berlayar ke Yakuts, menyeberangi sungai Lena.
dan aku ingin bertengger di ujung dedaun Amazona
hingga kulitku dingin, ditiup angin Fernando De Noronha.
sampai di perbatasan tembok raksasa
berbelok memutar haluan ke Musee Du Lauvre, aku berkelana.
Hingga nanti, setelah kujelajahi gurun Afrika
kan kusebrangi selat Malaka.
dan kuajak lagi menyusuri belantara
dengan segenap Cinta di dada.
~∂~
---The End---
Bireuen - Aceh, Januari 2012
Aroelika Munar
Aroelika Munar
*Penulis adalah mahasiswa Fak. Teknik Univ. Almuslim, Anggota Rangkang Sastra Bireuen.