-->

Surat Buat Andrea

Cuaca siang ini panas sekali. Tak banyak penduduk lokal kota kecil Matangglumpang Dua yang lalu lalang di tiap sudut kota. Apalagi di kota kecil apik ini sedang berlangsungnya proyek pelebaran jaran raya. Banyak asap-asap beterbangan dan debu-debu hasil karya kendaran yang melintas di jalanan menjadikan polusi udara yang hampa di setiap sudut kota pelajar kecil ini. Aku dan beberapa teman kuliahku hanya duduk manis di sudut kantin, dan berbicara mengenai dosen genit nan cantik tadi pagi sewaktu jam kuliah kami.
“Munar, kau mau baca buku ini enggak!”.
Usulan seorang temanku, Nurdin. Dia seorang ketua Badan Eksekutif Mahasiswa di Fakultas kami. Seorang teman yang punya banyak buku. Orang pintar, pasti banyak membaca, bukan! Menurutku begitu.
“Buku apa? Kalau buku-buku norak gitu tak usah, Din”.
Yang ku lihat di tangannya itu hanya sebuah novel. Bagiku novel-novel yang tak bermanfaat itu ku sebut buku norak. Tak baik dikonsumsi. Yaitu seperti buku yang mengandung cerita-cerita cinta yang berakhir dengan sebuah adegan skandal seksualitas, pembunuhan, pencurian dan sebagainya yang tak punya manfaat sama sekali bagi si pembaca. Itu ku sebut buku norak.
“Bukan, ini sebuah novel hebat Nar?”
“Ah, masa sih!”. Aku menggerutu.
“Iya, ini buku petualangan yang menakjubkan wahai sobatku Munar. Coba, bacalah dulu…!”.
Nurdin menutup sampul belakang buku merah tua itu. Dan memasukkan kedalam tas ku. Aku tak melihat-lihat lebih dulu buku apa yang telah diberikan padaku tersebut. Biarlah, mungkin nanti malam akan ku baca novel hebat usulan si Nurdin pintar itu.
Sambil menggosip. Tertawa terbahak-bahak. Secangkir kopi kecil dihadapanku, habis tak bersisa. Nikmatnya ngerumpi sambil ngopi.
***
Azan ‘Isya berkumandang. Setelah shalat berjamaah di sebuah pesantren kecil tradisional, tempat aku mengaji. Aku segera pulang ke rumah. Ku ambilkan tas kuliahku, dan ku tarik sebuah buku kecil berukuran 20×18cm itu. Ku simak perlahan samara-samar gambar tua yang ada di halaman sampul depannya. Tergambar anak-anak kecil yang sedang berdiri, ada yang menukik, ada yang duduk sendiri, seperti halnya sebuah kawanan anak kecil sedang menatap sebuah garis lengkung berwarna di langit merah. Dan ku baca di atasnya: Laskar Pelangi.
Aku mengambil posisi di sudut kamar, dan ku sibak lembar demi lembar. Ku baca baris demi baris. Ku lewati alinia ke alinia, bab ke bab. Ternyata tulisan yang berada dalam novel yang sedang ku pegang, membawaku ke alam sebelumnya yang pernah ku lewatkan bersama teman-teman kecil ku tempo dulu. Kata demi kata yang terangkum indah di dalamnya, membuat tubuhku dingin menggebu-gebu. Aku terus membacanya, sampai aku susah tidur. Seakan jelmaan kalimat-kalimat di dalamnya bersatu menjadikan sebuah pemandangan yang sangat indah luar biasa dalam benakku. Menjelma menjadi ribuan mawar merah dan putih, melingkari ratusan bunga-bunga melati liar, menjamah puncak-puncak anggrek berwarna warni. menjadi seperti bukit, yang di tandang dengan hamparan biru menyilau yaitu laut lepas di ujung mata. Ah, amboi hebatnya buku ini.
Aku sendiri seakan mengalahkan sejuta impian, dan melebur di dalamnya. Laksana lampu-lampu kecil di tepian pantai senja Kute. Aku berdiri di ladang sabana namun berbatu raksasa. Dan memandang ke arah bohlam senja, menapaki desis-desis ilalang padang. Uhui, asyiknya membaca buku hebat usulan si Nurdin pintar. Memang, orang pintar itu susah di tebak. Buktinya, dia memberiku buku pintar pula.
Senangnya hatiku malam ini, tak terperi. Benar kata guru ngajiku kemarin malam. Aku menanyakan sesuatu padanya, tentang mimpiku yang aneh menurutku. Aku bermimpi mendaki sebuah gunung yang tinggi menjulang ke awan biru, dan aku berada di puncaknya. Setelah mendengar cerita mimpiku itu, guru ngajiku itu berbisik pelan padaku.
“Jangan takut, nak. Engkau akan mendapatkan sesuatu yang besar nantinya. Itu akan menjadikanmu merasa bahagia. Senang dalam hidupmu….”.
“Apa itu guru?”
“Jangan tanyakan lagi. Nanti kau akan mendapatkannya sendiri. Sesuatu yang mungkin itu sebuah jalan untukmu. Atau sebuah tantangan menurutmu, untuk menjadi seorang yang berguna dan bermanfaat bagi orang lain”.
Apa pula maksud guruku itu. Aku sendiri tak mengerti apa maksudnya tentang mimpiku. Aneh bukan main.
Jiwa ini seakan tenang sekali malam ini. Aku merasakan kenyamanan. Nyaman sekali, kawan. Seperti seorang raja yang berada dalam singgasana tahtanya. Alamak, tinggi sekali pikiranku.
Kuakhiri lembar demi lembar terakhir novel ini. Tak kusangka, arlojiku telah menunjukkan waktu yang sangat larut. Sekarang pukul 02.15 Wib. Larut sudah aku bersama petualangan sepuluh kawanan burung-burung kecil itu. Ikal membawaku sungguh jauh ke alamnya. Bertemu kawan-kawannya seperti Lintang dan Mahar. Ikal mengenalkanku dengan mereka. Dengan petualangan unik, hebat luar biasa bersama mereka anak-anak pulau Belitong yang lugu nun mengesankan. Sungguh hebat perjalanan ikal dan kawan-kawannya.
Ku bacakan profil penulisnya. Aku suka sekali padanya. Sosok penulis yang luar biasa. Tak ada novel-novel sebelumnya yang membuatku terpana sebagaimana ketika aku membaca Laskar Pelangi. Tak ada karakter-karakter tulisan yang pernah berjumpa denganku seindah karakter tulisan Andrea Hirata ini. Maaf, bukannya aku memuji. Tapi ini isi hatiku sendiri. Mengatakannya dengan sebuah kejujuran hati seperti yang kukatakan tadi.
Dulu aku tak pernah membayangkan atas cita-citaku sendiri, atas impian-impianku, atas segala hiruk pikuknya perjalananku sendiri dalam meraih mimpi. Namun sekarang hati ini mengatakan lain. Aku ingin sekali menjadikan diriku sebagai seorang penulis. Penulis yang bermanfaat bagi nusa dan bangsaku sendiri.
Andrea menghipnotisku lewat bukunya. Dia memberiku sugesti yang besar dan bermanfaat untuk ku jalani. Aku yakin, aku mampu menjadikanku seorang penulis berbakat seperti penulis buku petualangan si Ikal di tanganku ini.
Begitu dalamnya inginku menjadi sepertinya. Seperti penulis handal berambut ikal itu. Aku mengambil secarik kertas putih. Ku ambilkan sebatang pena. Ku hamparkan tinta-tinta hitam ini diatasnya. Berikut petikannya:

“Surat Buat Andrea”
Aku mengenalmu bersama tetralogimu
Aku menantangmu dengan impianku
Aku takjub
Kau yang datang dari Belitong
Mampu berenang sampai ke Sorbonne
Namun ku disini
Hanya berani menulis puisi
Buatmu andrea
Salamku anak bangsa
***
Kp.Jawa Lama, Lhokseumawe.
19 Februari 2011.
Penulis: Aroelika Munar
LihatTutupKomentar