-->

Cerpen: Di Bawah Purnama


DI BAWAH PURNAMA
Karya: Aroelika Munar

ADA SEGUDANG CINTA dan rinduku yang belum habis kupersembahkan untuknya, namun, ia lebih memilih pergi meninggalkanku demi harapan dan impiannya bersama kawan-kawan seperjuangannya.  Ia meninggalkanku pada larut malam, dengan menenteng senjata api laras panjang berjenis AK-47 di balik jaket yang besar dan longgar. Pada malam itulah terakhir kali aku melihatnya berjalan meninggalkanku di rumah kecil ini, lalu menghilang diantara ilalang malam, ia menghilang di penghujung pandangku. Katanya, ia akan menuju ke Gunong Goh, kawasan gunung tempat persembunyiannya dan kawan-kawan. Sementara aku, hanya bisa berdoa untuk keselamatan dirinya serta selalu meminta kepada Allah, semoga nanti di hari persalinan anak kami yang kedua, ia bisa pulang menemaniku.

Aku adalah seorang wanita lemah, dan aku tak bisa menghalanginya untuk naik gunung, dirinya berjuang demi mempertahankan harkat dan martabat bangsanya, demi tujuan yaitu sebuah kemerdekaan. Bardan adalah lelaki sangat keras kepala yang pernah kukenal. Tapi di balik sifat kerasnya itu, ia adalah sosok lelaki yang baik hati dan bertanggung jawab. Tak pernah sekali pun ia melengkingkan suaranya kepadaku, tak pernah memarahiku, meskipun terkadang aku tak mampu melayaninya sebagaimana kewajiban seorang istri terhadap suaminya. Saat itu aku sedang hamil lima bulan, aku tak bisa memasak enak untuknya ketika ia turun gunung. Namun aku tak pernah melihat wajahnya merajuk atau cemberut saat aku tak mampu melayaninya sepenuh jiwaku. Dalam keseharian, kami hidup dalam kesederhanaan. Terkadang, menu makanan kami sehari-hari, hanya dengan sayur kangkung dan sambal ikan asin. Itu pun jika ada, bila tidak, cukup dengan telur dadar saja dan bertabur garam ke dalam nasi. Alangkah pahitnya hidup kami waktu itu. Kehidupan yang sangat sederhana.

Tapi ketika sebelum Bardan ikut bergabung dengan pemberontak, kami termasuk keluarga yang hidup enak. Apa saja yang kami mau bisa terbeli. Karena Bardan dulunya adalah seorang petani sukses. Awalnya, Bardan adalah seorang petani cabai yang sukses di bidangnya. Banyak orang mengenalnya. Ia mempunyai beberapa pekerja di kebunnya. Terakhir kali ia menjadi petani, yakni ketika kawanan serdadu berbaret merah mencium bau sekawanan pemberontak melarikan diri kearah kebun Bardan, dan mereka menyisir semua kebun yang berada di kawasan perbukitan itu sehingga mereka menemui Bardan, suamiku, yang saat itu sedang memanen cabai dengan beberapa pekerja. Diantaranya bernama Sadli dan Syam. Mereka berdua telah lama bekerja bersama Bardan. Dan Bardan pun telah memercayai mereka sebagai pekerja yang jujur dan telaten.

Maka di hari itulah, awal mulanya rasa dendam di hati Bardan terbentuk. Syam dan Sadli mati tertembak karena melawan serdadu saat diinterogasi mengenai para pemberontak yang melarikan diri melewati kawasan kebun itu. Usai penyerangan pos polisi di kaki bukit. Bardan diseret ke dalam panser, dan diinterogasi sembari dihadiahi beberapa pukulan di dadanya. Dan di saat itulah rasa dendam Bardan membara atas kematian kedua temannya yang tidak tahu apa-apa soal pemberontak, yang akhirnya harus mati ditangan para serdadu yang tak punya hati nurani. Di saat itulah Bardan merasa; bahwa para serdadu dari pulau seberang datang ke tanah ini untuk membasmi siapa saja yang dianggap sebagai pembangkang dan melawan pemerintah. Maka di dalam hati, Bardan berniat; jika ia tidak mati dalam panser itu, ia akan bergabung dengan para pejuang dan menuntut balas atas kematian orang-orang yang pernah hidup di dekatnya itu.

Alkisah, Bardan dilepaskan di malam hari, di sebuah lorong sempit, dengan kedua tangan yang terikat kebelakang. Ia berjalan menyusuri kegelapan malam, dan ia mendapati jalan besar lintas Bireuen–Takengon. Lalu ia mendapat bantuan dari penduduk sekitar, dan mereka bersedia mengantarkannya ke rumah. Ketika aku mendengar suara beberapa orang memberi salam dan mengetuk pintu, aku langsung membukanya, dan kulihat, tubuh Bardan melemas, lumuran darah di wajahnya membuat aku tidak lagi mengenalinya. Tapi mulutnya masih mampu mengeluarkan suara meskipun terbata-bata.

“Sarah, aku ditangkap tanpa kesalahan apa-apa. Dua orang yang bekerja di kebun ditembak mati...” ucap Bardan pelan. “Kenapa mereka ditembaki? Mereka kan bukan pemberontak!” tanyaku lirih, dan air mata berlinang membasahi pipiku, “Lantas apa salahmu, sehingga mereka menangkap dan memukulmu, bang?”. Aku tidak tahu, Sarah. Yang kutahu Syam dan Sadli tiba-tiba ditembak di depan mataku sewaktu mereka sedang berbicara dengan beberapa serdadu.” jawab Bardan sembari membaringkan badan. Dan beberapa orang yang mengantarnya langsung berpamitan, seolah mereka tidak berani berlama-lama di sini.





Pada malam itu aku melihat banyak darah yang telah mengering di tubuhnya. Aku tak tahu itu darah siapa. Tapi yang kutemui tidak ada satupun luka dari badannya Bardan yang mengeluarkan darah, kecuali di bagian kepalanya. Tubuh Bardan hanya banyak memar-memar bekas pukulan dengan benda tumpul. Aku membersihkan badannya dengan air, sampai darah-darah yang telah lama mengering di tubuhnya itu bersih. Aku masih menangis ketakutan.

Untung saja kau masih hidup, Bardan! Bagaimana jika kau ikut mati bersama mereka! Siapa yang akan mengurus anak kita nanti? Bagaimana nasib masa depan kami nanti…” hanya itu yang terngiang dalam hatiku. Aku tak ingin dia mati begitu cepat!

“Demi darah-darah yang telah mengering ditubuhku, aku akan balas dendam!” suara Bardan tiba-tiba menggelegar di tengah malam buta. Air matanya jatuh seketika. Aku melihat sinar matanya, penuh amarah dan rasa dendam yang membara di malam itu.

“Tenanglah, bang! Tenangkan dirimu…” bisikku perlahan-lahan di telinganya, “Kau tak perlu membalas dendam atas kematian temanmu. Biar saja Allah yang membalasnya. Aku mohon kepadamu, bang. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Kau masih punya kami. Dan si kecil yang sedang kukandung ini, masih ingin melihat ayahnya saat ia lahir dan besar nanti. Jika kau mati, siapa yang akan menjaga kami nanti? Bagaimana nasib masa depan anak-anakmu ini. Aku tak sanggup mengurus hidupku dan anak-anakku tanpamu, bang!” kuungkapkan seluruh isi hatiku kepada Bardan dengan dada yang sesak.

Dan di lain waktu, berkali-kali aku memohon kepadanya, setulus isi hatiku, bahwa aku tak ingin ia pergi bergabung dengan pemberontak. Namun, Tuhan berkata lain. Beberapa minggu setelah peristiwa berdarah itu terjadi, Bardan mengumpulkan uang dari tabungannya untuk membeli senjata pada seseorang di kota. Dan ia pun mendaftar dan mengikuti pelatihan-pelatihan militer di gunung. Setahuku, saat itu ia pergi ke sebuah bukit, dan menemui seseorang di sana, dan mendaftarkan dirinya sebagai anggota kelompok mereka. Mengetahui perbuatan Bardan itu, aku hanya diam saja. Ketika ia telah sering naik gunung, aku hanya berpesan padanya: Jika sedang perang, ingat anak dan istrimu di rumah! Tapi, apa pun itu yang telah menjadi keinginannya, Bardan tetap saja suamiku. Aku tak boleh membencinya. Aku harus patuh kepadanya!

Beberapa bulan di gunung, Bardan telah mendapat kepercayaan dan menjabat sebagai komandan perang. Ia memiliki anggota yang tangguh-tangguh. Bardan pernah menceritakan kepadaku, bahwa yang melatih mereka di gunung, adalah senior-seniornya yang dulunya berlatih militer di Libya sewaktu Muammar Khadafi masih memimpin Libya. Maka orang-orang yang terlatih di sana, adalah orang-orang elit dalam militer mereka.

Dan aku masih ingat, suatu waktu, ketika aku meminta Bardan untuk membeli sate padang di kota, dan saat itu aku benar-benar sedang mengidam di tengah malam. Mendengar permintaanku itu, ia pun tak menolaknya. Ia lekas ke kota, walaupun namanya telah diketahui oleh tentara pemerintah sebagai salah satu pemberontak yang paling dicari. Tapi Bardan tak pernah gentar. Orang-orang juga mengenalnya sebagai pejuang sejati dan jujur serta tangguh. Ketika aku menginginkan sate padang tersebut, sebenarnya aku tidak ingin meminta kepadanya, karena itu sama saja melakukan kesalahan yang sangat fatal akibatnya. Bisa-bisa suamiku terbunuh di luar sana hanya gara-gara sebungkus sate padang. Begitu pikirku.

Tapi, sebagai seorang suami, ia selalu setia untuk hal sekecil apapun demi kesenangan istrinya. Itulah salah satu sifat dari dirinya yang tak habis kupikir. Ia benar-benar setia kepadaku. Pada malam itu pula Bardan bersikeras mengendarai motor GL Pro-nya menuju kota, dan yang tak sanggup kubayangkan, ia pulang dengan selamat tanpa suatu apapun. Itulah dia; Bardan orang yang paling kukagumi dan kusayangi seumur hidupku. Ia mencerminkan sebagai sosok suami yang paling bertanggung jawab. Ia rela memikul beban besar, walaupun menyangkut dengan nyawanya, demi kenyamanan dan kesenangan istrinya. Aku benar-benar bersyukur telah memilikinya. Aku pun meyakini, bahwa Allah belum memerintahkan Izrail untuk mencabut nyawanya di malam itu. Namun, Allah memberi kesempatan kepadaku agar aku melihat rasa kesetiaannya terhadapku walaupun nyawa taruhannya demi suatu hal yang paling kecil sekalipun.

*** 

Maka pada suatu malam, sejak jejaknya tercium oleh cu’ak yang di pasang di setiap sudut kota dan desa oleh serdadu, Bardan sempat pulang ke rumah untuk menjengukku, dan memberi sedikit uang kepadaku karena kondisi kandunganku yang telah hampir mendekati hari persalinan. Di malam itu, ketika ia sedang memelukku, ia bergumam: “Sarah, aku akan selalu mencintaimu!”
Bardan mengatakan itu kepadaku dengan sorot matanya yang bersinar terang. Aku hanya diam dan mendengarnya.

“Sekalipun aku tiada di sisimu nanti, aku ingin dirimu tetap tegar menghadapi semua lika-liku hidupmu. Dan jaga anak-anak kita sebaik mungkin. Sekolahkan mereka dan beri mereka tuntunan agama yang baik. Aku hanya ingin, mereka nanti, menjadi guru. Yang satunya jadi guru sekolah dan satunya lagi jadi guru ngaji.” ucap Bardan sambil memelukku dengan erat.

Setelah aku mendengar kata demi kata yang diucapkannya malam itu, hatiku berkecamuk hebat. Jiwaku seolah meronta-ronta. Kata demi kata yang menyentuh hatiku itu masuk melalui kedua telingaku dan melayang-layang dibenakku, hingga sepanjang malam aku tak bisa tidur. Aku gelisah. Aku mendadak jadi takut. Aku takut bahwa kata-kata itu adalah sebentuk kata-kata terakhirnya kepadaku.

Dan tak lama kemudian, setelah Bardan memelukku dan mencium keningku di malam itu, ia meminta pamit kepadaku. Dia hanya berkata bahwa ia harus segera kembali ke Gunong Goh malam itu juga. Dan di saat itu juga ia sempat mengisyaratkan kepadaku, bahwa ada orang-orang bersenjata di luar sana yang berusaha mengikutinya. Yang kuingat terakhir kali yang ia ucapkan kepadaku, sembari mengecup keningku, “Jagalah dirimu baik-baik. Aku akan segera pulang!”

Maka pada malam itulah, di bawah purnama, terakhir kali aku melihatnya bersenjata lengkap dan menghilang diantara ilalang malam. Hembusan angin malam itu serasa membuat jiwaku merasakan kesunyian dan kesepian yang amat mendalam. Dan setelah kepergiannya malam itu, hingga kini, sosok Bardan ternyata tak pernah lagi kembali kepadaku.*[]

Banda Sakti, 05 Januari 2017.

Aroelika Munar (lahir di Samalanga Aceh pada tahun 1986) adalah seorang salesman; memiliki hobi menulis puisi dan cerpen. Saat ini ia menetap di Lhokseumawe.

*cerpen ini dimuat imuat oleh media kabar online ACEHMEDIART.COM

Sumber foto ilustrasi: google.co.id
Sumber lain: http://www.acehmediart.com/2017/01/di-bawah-purnama_11.html




LihatTutupKomentar