-->

Cerpen: Komandan Zen


KOMANDAN ZEN
Karya: Arafat Nur

DAUN-DAUN kelapa yang diterpa semilir senja di halaman samping rumah terasa mengiris perasaanku. Aku menerima kabar duka dari Saipun. Teman seperjuangan yang paling dekat denganku syahid ditembak tentara. Ada rasa bersalahku padanya yang sulit kuungkapkan.
Teringat kembali masa-masa bersamanya, sebelum militer menembaki markas kami. Ketika itu kami berada di jalan pegunungan yang berkerikil, debu-debu kuning melilipkan mata. Aku, Komandan Zen, Maun, dan Basyah memakai kacamata hitam guna melindungi pandangan.
Aku dan Zen mengendarai GL-Pro. Dia duduk di boncengan. Laras panjang SP di tangannya sudah dikokang, tinggal buka kunci kalau tepergok pasukan pemerintah. Aku sendiri memanggul AK-56, sudah kukokang dan terkunci.
Maun mengiringku dengan RX King. Basyah di belakangnya dengan AK-47 dan Maun menyandang M-60. Senjata kami selalu siap tembak. Kami melalui jalan kerikil itu tanpa peduli pada cahaya terik matahari.
Seketika Yaesu di pundakku mengabarkan bahwa enam truk dan dua panser tentara sedang menanjaki jalan yang sedang kami lalui. Aku mengabarkan kepada reka-rekan, sepakat memperlambat laju motor kami.
Sayup-sayup kudengar raungan kendaraan. Kutajamkan kupingku. Mungkin itu suara kendaraan mereka.
"Bagaimana?" tanya Zen.
"Mereka semakin dekat," kataku.
"Berhenti!" perintah Zen selaku komandan.
Kami berempat berhenti. Padahal kami harus tiba sebelum Magrib di Lusong Gajah. Kami berada saling berjauhan sehingga kami lebih banyak bicara pakai isyarat.
"Ada apa, Ran?!" tanya Maun.
Aku menunjuk kuping kananku, lalu menunjuk ke tikungan di depan, di sebelah barat kaki Gunung Salak, suara dengung semakin dekat.
"Pa-i! Pasti mereka," seru Maun sambil mengisi amunisi M-60-nya.
"Bagaimana?"
"Terserah!"
Belum sempat kami mengambil keputusan, tiba-tiba sebuah panser loreng muncul. Tanpa aba-aba Maun langsung melepaskan sebutir GLM ke arah panser itu.
Dummm!
Gumpalan asap hitam mengepul, diikuti percikan api warna-warni. Panser terhenti. Kami melepaskan tembakan otomatis. Tak ada balasan.
Aku dan Maun memutar arah motor. Terdengar gemuruh dahsyat. Ribuan butir peluru muntah ke arah kami. Desingan menggiang-giang. Mengenai pohon, daun-daun, dan ilalang. Batang-batang karet berpatahan. Juga membuat lubang kecil di jalan. Debu-debu beterbangan. Aku dan teman-teman melompat ke parit yang ditumbuhi rumput panjang.
"Tidak biasanya mereka bergerak begitu cepat," kata Maun.
"Pemberontak, mampus kau!" terdengar teriakan lawan.
Begitu suara itu habis, tiga butiran TP meledak sekitar tiga meter dekat kami tiarap. Dua TP itu membuat lubang besar di jalan. Satu butiran lagi mengenai pohon karet di belakang kami. Pohon itu tumbang, cabang-cabang menindih ilalang.
"Mampus kau, pengkhianat!" terdengar lagi teriakan.
Lantas, suara gemuruh tembakan terdengar lebih gencar. Terlihat panser yang garang memuntahkan serangan. Kami tidak bisa keluar. Kami terpaksa bertahan dalam parit. Sialnya, kami juga tidak bisa membalas. Aku memandang Zen. Dia menggeleng-geleng.
"Kita harus tinggalkan tempat ini!" katanya.
Tetapi, ledakan itu terdengar lagi.
Dummm!




Anak TP meledak di tempat kedua motor kami. Kulihat api membubung tinggi. Gumpalan asap bercampur percikan warna-warni. Tercium bau mesiu menyesakkan paru-paru.
"Lari...!" teriak Zen.
Spontan kami bangkit. Begitu cepat berlari, menjauhi arah tembakan. Sialnya, ada tembakan dari arah lain. Desingan peluru merobek daun-daun. Kami terpaksa tiarap lagi menghindari ganasnya timah panas. Trap, trap, trap!
Sebutir mortir meledak di depan kami. Membuat lubang setengah meter. Tubuh kami terguncang. Sendi-sendi tubuhku mau putus. Getaran mortir cukup buat melemahkan mental hanya dengan suara dan getarannya. Apalagi kalau mengenai tubuh.
"Kita mundur teratur. Aku yang menembak duluan. Lalu Thaib, Maun, dan Basyah!" perintah Zen.
Kami menambah peluru ke magazen yang hampir kosong. Kulihat Zen membidik. Tum, tum, tum!
"Ayo!" teriaknya.
Kami bertiga lari membungkuk. Zen masih membidik dengan SP-nya. Kira-kira agak jauh darinya, aku pun melepaskan tembakan. Aku berusaha melindungi Komandan Zen. Gantian
Zen lari membungkuk ke arah kami. Ketika Zen tiba, terdengar Maun melepaskan tembakan.
Dummm! Terdengar lagi ledakan hebat.
Mortir meledak kembali. Sebatang pohon besar tumbang. Maun melepaskan butiran peledak dari M-60. Serangan peledak dari lawan berhenti. Yang tampak adalah bebayangan gelap. Asap mesiu bergerak naik.
"Zen, mereka Kostrad!" kataku.
"Tahu dari mana?"
"Cara mereka mengepung."
"Bagaimana meloloskan diri dari sini? Di belakang kita gunung. Bahkan, kita tidak menguasai daerah. Kau punya rencana?" tanya Zen sambil mengisi peluru SP-nya.
"Mereka sudah berkurang satu panser," bisikku.
Sekitar 60 meter dari balik pepohonan karet sebelah barat, sejumlah orang berpakaian loreng menunggu reaksi dari kami. Mereka berteriak-teriak. Kami tidak begitu menanggapi.
"Pemberontak!!!" terdengar teriakan lagi. "Nyerah kau!"
"Pa'i, pulanglah ke negerimu!" Zen membalas teriakan.
"Kalian hanya empat, kami seratus dua puluh!"
"Menyerahlah!" terdengar teriakan dari barat lagi.
"Kita pergi sekarang. Tembaklah sesekali!" bisik Zen.
Kami bangun, menembak sesekali ke arah suara teriakan tadi. Inilah cara terakhir. Zen membidik. Tembakannya berirama khas. Irama inilah yang ditakuti pasukan tentara pemerintah. Mereka sudah hafal irama ini.
Biasanya irama tembakan Zen memakan korban. Sebelum menjadi tentara gerilya, dia adalah pemburu rusa. Kijang di hutan pegunungan antara Bireun dan Panton Labu sering menjadi sasaran tembakannya.
Kami menunggu Zen yang sedang menembaki musuh. Sesaat dia muncul. Kami lari tanpa membungkuk. Keringat sudah membasahi sekujur tubuh. Napas kami memburu. Dada sesak. Asap-asap mesiu peledak membuat dada kami sakit.
"Kita harus segera mendapatkan air. Kalau tidak, kita bisa mati oleh racun," kata Zen dengan suara putus-putus.
Selama dua jam kami bisa menyingkir dari medan pertempuran. Tak seorang pun di antara kami jatuh korban atau cedera. Tetapi, kini nyawa kami terancam oleh banyaknya racun mesiu yang terhirup. Kami harus mendapatkan air sebagai penawar. Kalau tidak, kami bisa mati keracunan.
"Bang, Bang.... Kenapa Bang Thaib tercenung begitu lama," suara Putri mengejutkanku.
"Aku sedang memikirkan Zen?"
"Memangnya kenapa?"
"Dia sudah tewas!"[]
***  

*Arafat Nur (lahir di Lubuk Pakam, Sumatra Utara, 22 Desember 1974; umur 42 tahun) adalah seorang sastrawan berkebangsaan Indonesia. Namanya dikenal melalui karyanya berupa cerita pendek dan novel yang dipublikasikan ke berbagai media massa. Dia telah memenangi sejumlah penghargaan, antara lain Kusala Sastra Khatulistiwa (2011). Cerpen ini diadaptasi menjadi sebuah novel berjudul Seumpama Matahari (DIVA Press, 2017).

Sumber foto: google.co.id







LihatTutupKomentar